Anambas, sidikfokusnews.com_
Rohadi, penerima kuasa khusus dari Yadi Loh dalam pengambilan satu unit alat berat, menyampaikan keberatannya atas sejumlah pemberitaan di media daring yang dinilainya tidak berimbang, tendensius, serta mencederai profesinya sebagai wartawan dan kredibilitasnya sebagai kuasa hukum perdata. Ia menegaskan bahwa tindakan beberapa media justru menciptakan carut-marut informasi di ruang publik dan mengabaikan prinsip etik jurnalistik.
Hal ini dipicu oleh pernyataan Wahyudi, Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Anambas, yang muncul di berbagai media seperti SinarPerbatasan.com, BeritaKepri.id, dan Radarsatu.com. Dalam pernyataannya, Wahyudi menyayangkan sikap Rohadi yang dianggap menyeret masalah pribadi ke ruang publik dan menyebutnya sebagai “oknum wartawan”.
Namun, Rohadi membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya berbicara dalam kapasitas sebagai penerima kuasa sah dari Yadi Loh, bukan dalam posisi sebagai jurnalis. Oleh karena itu, ia merasa bahwa penyebutan dirinya sebagai “oknum wartawan” oleh Wahyudi sangat keliru dan berpotensi mencemarkan nama baik serta merugikan profesinya.
> “Saya bukan bertindak sebagai wartawan dalam kasus ini. Saya diberi kuasa hukum secara sah oleh Pak Yadi Loh untuk pengambilan alat berat. Lalu, mengapa ketika saya menjelaskan duduk persoalan, saya justru diframing sebagai oknum yang menyeret urusan pribadi ke ruang publik?” tegas Rohadi saat dikonfirmasi via sambungan WhatsApp pada Selasa (1/7/2025).
Persoalan Etik dan Pelanggaran Hak Jawab
Lebih lanjut, Rohadi menyayangkan sikap redaksi dari tiga media daring tersebut yang tidak mengkonfirmasi informasi kepadanya secara langsung, padahal namanya disebut. Ia menilai tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008, yang menyebutkan bahwa:
> “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.”
Selain itu, menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang berhak untuk hak jawab dan hak koreksi atas pemberitaan yang merugikan, namun kesempatan tersebut tidak diberikan oleh media-media yang bersangkutan.
> “Saya tidak diberi ruang hak jawab, tidak dikonfirmasi, dan tidak ada upaya dari redaksi untuk mengklarifikasi berita yang menyudutkan saya. Ini sudah cukup untuk dikategorikan sebagai kelalaian etik jurnalistik,” tambah Rohadi.
Penilaian Atas Tuduhan dan Klarifikasi Peran
Rohadi menegaskan bahwa langkahnya berbicara ke media terkait alat berat bukan dimaksudkan untuk menyeret urusan pribadi ke publik, melainkan untuk menjelaskan posisi hukumnya sebagai penerima kuasa sah. Bahkan, ketika wartawan menanyakan nama lengkap Wahyudi, ia menyebut jabatan publik yang bersangkutan hanya sebagai identifikasi fakta, bukan niat politisasi.
> “Saya menyebut Wahyudi sebagai anggota DPRD bukan untuk menyerang secara politik, tapi karena itulah identitas resminya. Itu pun hanya menjawab pertanyaan, bukan inisiatif saya untuk membawa jabatan beliau ke publik,” terang Rohadi.
Langkah Hukum: Akan Koordinasi dengan Kuasa Hukum dan Dewan Pers
Atas kerugian nama baik dan dugaan pelanggaran kode etik ini, Rohadi menyatakan akan mengambil langkah hukum. Ia akan berkonsultasi dengan kuasa hukumnya dan ahli jurnalistik independen untuk menilai konten media tersebut.
> “Jika dinilai sudah masuk unsur fitnah, maka saya akan membawa ini ke ranah hukum. Kalau melanggar etik jurnalistik, maka saya akan ajukan pengaduan resmi ke Dewan Pers di Jakarta,” tegasnya.
Rohadi juga menolak permintaan konfirmasi lanjutan dari media-media tersebut karena menurutnya sudah lewat dari batas waktu etis. “Sudah dua kali 24 jam saya tunggu. Kalau sekarang baru menghubungi saya, saya nyatakan tidak bersedia dikonfirmasi,” pungkasnya.
Insiden ini menjadi pelajaran agar media dalam menjalankan fungsinya tetap menjunjung tinggi prinsip verifikasi, keberimbangan, dan menghormati hak-hak subjek pemberitaan.
Pers adalah pilar demokrasi. Tapi kalau fungsinya disalahgunakan, apalagi tanpa konfirmasi, itu bukan lagi demokrasi—melainkan penyalahgunaan kekuasaan media,”. Redaksi sp