sidikfokusnews.com – Batam — Setelah hampir empat tahun vakum, Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Batam siap kembali aktif. Kepengurusan baru periode 2025–2028 akan resmi dilantik oleh Wali Kota Batam pada 9 Agustus 2025 di Wisma Pusat Informasi Haji Batam, usai keluarnya Surat Keputusan Pengesahan dari BWI Pusat.
Keterlambatan pengesahan kepengurusan ini dipicu lambatnya pengajuan dari Kemenag Batam, ditambah penyesuaian nama-nama pengurus karena beberapa di antaranya telah menjabat dua periode berturut-turut sehingga tidak lagi memenuhi syarat.
Berbeda dari periode sebelumnya yang banyak diisi tokoh ulama, formasi kali ini lebih dominan oleh praktisi ekonomi syariah. Komposisi ini diharapkan mampu mendorong pengelolaan dan pengembangan investasi wakaf di Batam secara lebih optimal.
Beberapa figur kunci yang masuk kepengurusan antara lain Syarifuddin, S.T., Ketua LAZ Batam peraih penghargaan nasional dalam pengelolaan zakat produktif, dan Ir. Muhammad Arif, Direktur LAZ Dana Amanah Kawasan Industri Batamindo yang berpengalaman mengelola investasi wakafmart pada 2007–2018.
Ketua BWI Kota Batam, Drs. H. Buralimar, M.Si., merupakan pensiunan ASN yang pernah menduduki berbagai jabatan strategis di Pemkot Batam dan Pemprov Kepri, termasuk Pj. Bupati Bintan. Ia juga sukses memimpin Yayasan Badan Wakaf Batam dalam mengelola investasi produktif seperti ruko, rumah sewa, dan lahan pertanian.
Buralimar menargetkan penguatan peran nazhir—baik perseorangan, badan hukum, maupun organisasi—serta pemanfaatan tanah wakaf untuk kegiatan produktif. Program prioritas adalah pembangunan Rumah Tahfiz Al-Qur’an di lahan wakaf milik Syamsul Paloh yang akan dipadukan dengan sentra ekonomi sebagai sumber pendanaan kegiatan sosial.
BWI Batam juga akan mengajak masjid, musholla, yayasan, dan ormas Islam untuk menggabungkan aktivitas sosial dengan usaha ekonomi. Dua skema wakaf yang akan digarap serius adalah wakaf uang dan wakaf tanah berjangka, memanfaatkan tingginya nilai komersial tanah di Batam.
Untuk menggalang wakaf uang, BWI akan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan melibatkan pelajar dan mahasiswa, serta menggandeng dunia usaha agar dana CSR dikelola secara produktif. Target pengumpulan ditetapkan sebesar Rp3 miliar per tahun.
Optimisme ini diperkuat oleh sejarah perwakafan Batam. Pada 2002, Batam menjadi tuan rumah Workshop Internasional Wakaf yang melahirkan “Rekomendasi Batam Centre”, cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pada 2003, Batam juga menjadi pionir dalam memperkenalkan wakaf uang di Indonesia melalui Yayasan Badan Wakaf Batam.
Dengan formasi yang memadukan birokrat, profesional, dan ulama, BWI Batam optimistis mampu menggerakkan kembali semangat wakaf produktif demi kemaslahatan umat.
(Nursalim Turatea)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 84