sidikfokusnews.com – Batam – Lembaga Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kota Batam resmi memiliki nakhoda baru. H. Budi Dermawan, S.Ag., M.Sy., terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum BP4 Kota Batam untuk periode 2025–2030. Pemilihan ini menandai kepercayaan penuh yang diberikan oleh para anggota dan pemangku kepentingan kepada sosok yang dinilai mampu membawa lembaga tersebut menjadi lebih kuat, relevan, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai lembaga mitra Kementerian Agama, BP4 memiliki peran penting dalam membina, menjaga, sekaligus memperkuat ketahanan keluarga. Di tengah semakin kompleksnya tantangan kehidupan rumah tangga, BP4 diharapkan dapat tampil sebagai garda terdepan dalam menciptakan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga masyarakat Batam.
Budi Dermawan dalam sambutannya menyampaikan bahwa BP4 bukan sekadar lembaga formal, melainkan juga ruang pengabdian yang nyata bagi masyarakat. Salah satu fokus utama yang akan menjadi perhatian besar ke depan adalah upaya pencegahan perceraian. Kota Batam sendiri dalam beberapa tahun terakhir menghadapi angka perceraian yang relatif tinggi, ditambah dengan kasus pernikahan dini yang masih kerap terjadi. Kondisi ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasangan suami istri, tetapi juga oleh anak-anak dan lingkungan sosial secara luas.
Eksistensi BP4 di Batam dengan demikian menjadi semakin vital. Lembaga ini diharapkan mampu menjawab keresahan masyarakat, memberikan solusi, dan hadir dengan program nyata yang membina keluarga sejak dini. Mulai dari penyuluhan pra-nikah, konseling rumah tangga, hingga program pembinaan keluarga harmonis, BP4 dituntut untuk bekerja lebih intensif, inovatif, dan kolaboratif bersama berbagai pihak.
Dengan terpilihnya Budi Dermawan, harapan besar pun tertumpu agar kepemimpinan baru ini mampu membawa angin segar. Rekam jejaknya sebagai tokoh yang aktif di lingkungan Kementerian Agama dan berpengalaman dalam bidang sosial keagamaan dinilai menjadi modal penting untuk membangkitkan kembali semangat BP4 di Batam. Dukungan dari pemerintah daerah, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat luas juga menjadi faktor penentu dalam mewujudkan visi besar lembaga ini.
Budi menegaskan bahwa BP4 Kota Batam akan terus mengedepankan peran strategisnya dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. “Kami siap menjadikan BP4 sebagai rumah bersama, tempat masyarakat mendapatkan bimbingan, pencerahan, dan solusi untuk membina rumah tangga yang utuh dan bahagia,” ujarnya.
Terpilihnya Budi Dermawan secara aklamasi mencerminkan keyakinan kolektif bahwa kepemimpinannya akan membawa BP4 Kota Batam semakin berdaya guna. Lima tahun ke depan menjadi momentum penting bagi lembaga ini untuk membuktikan kontribusi nyata dalam mengurangi angka perceraian, mencegah pernikahan dini, serta membangun generasi yang kuat melalui ketahanan keluarga. (Agil).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 45