Oleh ustadz Muhammad Candra
Sebuah organisasi hanya akan bertahan dan berkembang jika ia memiliki semangat pembaruan. Kalimat sederhana “PMB ke depan harus lebih baik” adalah sebuah doa, tekad, sekaligus tantangan besar yang harus dijawab dengan kerja nyata, bukan sekadar jargon. Dalam setiap fase perjalanan, Persatuan Muballigh Batam (PMB) tentu menghadapi dinamika yang penuh warna: ada keberhasilan yang patut disyukuri, ada pula kekurangan yang mesti diperbaiki.
Mengucap Bismillah dalam setiap langkah adalah penegasan bahwa perjuangan ini tidak semata-mata urusan manusia, melainkan juga ibadah yang diniatkan karena Allah. Dengan dasar itu, segala rencana, program, dan tindakan akan senantiasa diarahkan pada kebaikan, kemaslahatan, serta penguatan peran muballigh di tengah masyarakat. PMB tidak boleh hanya hadir sebagai simbol kelembagaan, tetapi harus benar-benar memberi manfaat yang nyata bagi umat.
Menjadi lebih baik di masa depan berarti berani melakukan evaluasi secara jujur. Apa yang selama ini telah dicapai perlu diapresiasi, namun tidak boleh membuat terlena. Sebaliknya, kekurangan yang ada harus dijadikan bahan renungan sekaligus pijakan untuk melangkah lebih mantap. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang terbuka terhadap kritik, bersedia memperbaiki diri, dan mampu merangkul semua potensi yang ada.
PMB harus mampu tampil sebagai rumah besar bagi para muballigh dengan visi kebersamaan. Di dalamnya, tidak boleh ada sekat perbedaan yang justru melemahkan, melainkan semangat kolaborasi yang memperkuat. Para muballigh dituntut untuk terus meningkatkan kualitas diri, baik dari sisi ilmu, akhlak, maupun kemampuan berdakwah. Sebab, kualitas muballigh adalah cermin kualitas dakwah itu sendiri.
Lebih baik ke depan juga berarti mampu menjawab tantangan zaman. Dakwah hari ini tidak lagi cukup dilakukan dengan cara-cara lama, tetapi harus memanfaatkan perkembangan teknologi dan media. PMB harus hadir dalam ruang digital, menyapa masyarakat dengan bahasa yang santun, mencerahkan, dan sesuai kebutuhan generasi sekarang. Dengan begitu, dakwah tidak hanya terdengar di mimbar masjid, tetapi juga bisa menembus ruang-ruang virtual yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat.
Namun, semua cita-cita itu tidak akan terwujud jika hanya menjadi wacana. Diperlukan komitmen yang kuat, kerja sama yang solid, serta kepemimpinan yang visioner dan amanah. PMB yang lebih baik bukanlah tanggung jawab satu orang, melainkan tugas kolektif seluruh anggota dan simpatisan. Setiap orang punya peran, sekecil apa pun kontribusinya, untuk menjadikan organisasi ini semakin bermartabat dan bermanfaat.
Dengan semangat Bismillah, tekad untuk menjadikan PMB ke depan lebih baik bukanlah hal yang mustahil. Asalkan setiap langkah diniatkan untuk kebaikan, setiap program dilandasi keikhlasan, dan setiap kebijakan dijalankan dengan keadilan, insyaAllah PMB akan tumbuh menjadi organisasi yang lebih kokoh, dihormati, dan benar-benar memberi pencerahan bagi umat.
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 62