banner 728x250

Beras Premium Rasa Tipu-Tipu: Dugaan Mafia Oplosan di Anambas dan Jaringan Sunyi yang Terlalu Lama Dibiarkan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Anambas, Kepulauan Riau.— Aroma wangi beras yang biasanya menyambut hangat dari dapur-dapur rumah warga Anambas, kini terasa asing. Keluhan soal rasa yang hambar, warna yang kusam, hingga tekstur kasar mulai terdengar dari banyak meja makan. Bukan soal selera semata. Banyak warga menduga ada skenario besar di balik menurunnya kualitas beras premium yang selama ini mereka konsumsi.

banner 325x300

Merek-merek seperti HARUMM@S dan CM, yang selama ini dikenal sebagai beras pilihan, mulai menuai kecurigaan. Keluhan mengalir bukan hanya dari ibu rumah tangga, tapi juga tokoh masyarakat dan pelaku usaha kuliner yang merasa tertipu.

Kecurigaan ini mengerucut pada satu istilah: oplosan. Praktik mencampur beras Bulog berkualitas dengan beras murahan lalu dijual kembali dalam kemasan merek premium. Beberapa mantan pekerja distribusi bahkan menyebut praktik ini sudah berjalan lebih dari 10 tahun, melibatkan “toke besar” yang disebut punya jalur langsung dengan kapal tol laut dan memiliki gudang pribadi untuk proses pengoplosan.

Menurut kesaksian warga, beras dari Bulog yang seharusnya digunakan untuk program stabilisasi harga dan bantuan sosial malah dijadikan komoditas dagang oleh segelintir orang. Di gudang-gudang tersembunyi, beras ini dioplos, dikemas ulang, lalu disebarkan ke warung, toko, hingga rumah makan. Konsumen tetap membayar harga tinggi untuk kualitas rendah, tanpa tahu bahwa mereka sedang menjadi korban penipuan sistemik.

“Waktu masak, langsung terasa bedanya. Warnanya buram, tak ada wangi sama sekali, dan pas dimakan keras. Istri saya sampai minta diganti. Padahal mereknya CM, yang katanya paling bagus,” kata seorang warga Tarempa, kecewa.

Lebih mencengangkan, beberapa warga mengaku memiliki bukti aktivitas pengoplosan berupa foto dan video. Namun bukti itu menghilang secara misterius. “HP saya tiga kali diretas. Semua hilang. Saya yakin ini bukan kerja iseng. Ada kekuatan yang tak ingin kebusukan ini terbongkar,” ungkap seorang sumber yang menolak disebutkan namanya.

Praktik ini seolah dibiarkan. Banyak warga menyebutnya “rahasia umum”, namun tak pernah ada tindakan hukum yang jelas. Muncul pula dugaan adanya “pengamanan” terhadap para pelaku, termasuk dalam bentuk astoran atau setoran informal kepada oknum aparat dan pejabat tertentu.

Fraud Pangan dan Penyalahgunaan Aset Negara. Menurut Dr. Indrawan Supendi, pakar agribisnis dari IPB, pengoplosan beras tergolong fraud pangan yang merugikan konsumen dan berpotensi membahayakan kesehatan. “Ini bukan cuma soal mutu. Ini kejahatan. Jika proses pengoplosan dilakukan tanpa standar kebersihan, maka potensi kontaminasi sangat tinggi. Apalagi jika beras dari Bulog ikut dimainkan, maka itu bentuk penyalahgunaan aset negara,” tegasnya.

Senada, Eko Darmawan dari Transparency Institute menyebut kasus ini sebagai kegagalan sistemik. “Distribusi logistik di daerah kepulauan seperti Anambas itu relatif mudah dipantau karena volumenya kecil. Kalau praktik ini bisa bertahan lebih dari satu dekade, maka jelas ada pembiaran. Bahkan bisa dibilang sudah terorganisir,” ujarnya.

Penanganan longgar di Anambas kontras dengan langkah tegas di daerah lain seperti Provinsi Riau. Di sana, penegakan hukum terhadap mafia pangan berjalan agresif di bawah kepemimpinan Kapolda Irjen Pol Heri Heriawan. Ia dikenal publik karena tidak kompromi terhadap kejahatan yang menyangkut kepentingan publik.

“Anambas butuh figur kuat seperti itu. Kalau hanya dibiarkan, maka rakyat kecil akan terus dirugikan, sementara para mafia menikmati untung dalam senyap,” tambah Eko.

Tuntutan Warga: Audit dan Satgas Khusus, warga kini mendesak pemerintah daerah, khususnya Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta aparat penegak hukum, untuk turun tangan. Mereka menuntut operasi pasar menyeluruh, audit independen terhadap semua gudang swasta, dan transparansi dalam distribusi beras Bulog.

“Kalau memang serius, seminggu saja cukup untuk bongkar semua. Orangnya itu-itu saja. Gudangnya itu-itu juga. Masalahnya bukan sulit, tapi ada atau tidak kemauan,” kata seorang aktivis lokal.

Beberapa warga juga meminta dibentuknya Satgas Khusus Pangan yang bekerja independen dan diisi oleh unsur masyarakat sipil, jurnalis, dan tokoh adat. “Kalau mengandalkan jalur lama, ya selesai di meja lagi. Tidak akan tuntas,”.

Kasus ini bukan hanya menyangkut soal beras. Ini tentang keadilan, tentang hak dasar warga untuk memperoleh pangan yang layak, dan tentang membersihkan sistem distribusi dari cengkeraman mafia yang selama ini menikmati kebal hukum. Jika dibiarkan, maka yang tercemar bukan cuma nasi yang dimakan rakyat, tapi juga kepercayaan terhadap negara dan aparatnya.

Anambas punya peluang menjadi titik balik. Tapi hanya jika keberanian itu muncul — bukan hanya dari warga yang berteriak, tapi juga dari mereka yang diberi kuasa untuk bertindak. Karena jika tidak, yang teroplos bukan cuma beras, melainkan juga keadilan.” (timredaksisidikfokus)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *