banner 728x250

Beras Oplosan di Pasaran: Rakyat Jadi Korban, Negara Ditantang Bertindak Tegas

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Jakarta.-Di tengah gejolak harga kebutuhan pokok yang belum stabil, publik kembali dikejutkan oleh fakta mencengangkan: lebih dari 85% beras premium yang beredar di pasar ternyata tidak sesuai dengan standar mutu nasional. Temuan ini bukan sekadar spekulasi atau rumor liar di media sosial, melainkan hasil investigasi ilmiah dan resmi oleh Kementerian Pertanian RI bersama 13 laboratorium terakreditasi di 10 provinsi.

banner 325x300

Dari 268 merek beras premium yang diuji, hasilnya:

85,56% tidak sesuai mutu nasional (SNI)

59,78% dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET)

21% tidak sesuai berat kemasan

Angka-angka ini bukan sekadar pelanggaran teknis. Mereka adalah refleksi dari ketidakadilan ekonomi yang sistemik, di mana konsumen membeli mahal, namun mendapatkan kualitas rendah.

Empat grup besar yang kini sedang diselidiki oleh Bareskrim Polri karena diduga terlibat dalam pengoplosan atau manipulasi mutu beras adalah:

1. Wilmar Group

Merek: Sania, Sovia, Fortune

Distribusi: Aceh, Lampung, Sulsel, Yogyakarta, Jabodetabek

2. PT Food Station Tjipinang Jaya

Merek: Setra Pulen, Setra Ramos, Alfamidi, Ramos Premium

Distribusi: Kalimantan Selatan, Aceh, Jabar, Sulsel

3. PT Belitang Panen Raya (BPR)

Merek: Raja Platinum, Raja Ultima

Distribusi: Jateng, Sulsel, KalSel, Aceh, Jabodetabek

4. PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group)

Apa Kata Pemerintah dan Para Ahli?

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengecam keras praktik ini. Ia menyatakan bahwa tidak ada alasan logis bagi harga beras mahal saat produksi nasional melimpah:

> “Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini penyimpangan ekonomi.”

Faktanya, data FAO memproyeksikan produksi beras Indonesia mencapai 35,6 juta ton tahun ini, melampaui target nasional sebesar 32 juta ton. Maka, tekanan harga seharusnya menurun, bukan justru naik.

Menurut ekonom pertanian IPB, Dr. Irwan Syahril, akar persoalan ada di hilirisasi dan tata kelola distribusi:

> “Harga tidak hanya ditentukan oleh produksi. Ketika distribusi dan pengawasan longgar, manipulasi kualitas bisa terjadi. Negara harus hadir sebagai pengontrol.”

Hudi Yusuf, pakar hukum dari Universitas Bung Karno, menyebut ini sebagai tindak pidana ekonomi berat. Menurutnya, pelaku bukan hanya menipu, tetapi juga mengancam stabilitas kepercayaan pasar:

> “Rakyat membeli beras mahal tapi kualitasnya oplosan. Itu kejahatan publik. Negara harus mencabut izin usaha pelanggar dan melarang mereka kembali beroperasi.”

Ia menekankan bahwa kasus ini bukan yang pertama, bahkan Wilmar Group sebelumnya terseret kasus korupsi ekspor CPO tahun 2022.

Menurut laporan sementara dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) di beberapa kabupaten/kota, sejumlah daerah mulai melakukan inspeksi mendadak ke pasar dan gudang distributor.

Kota Batam dan Tanjungpinang, Provinsi Kepri:
Disperindag menemukan beras premium berlabel “Setra Pulen” tidak sesuai mutu dan dijual melebihi HET. Produk langsung ditarik dari rak ritel modern.

Kabupaten Sleman, Yogyakarta:
Dinas menemukan 4 merek beras premium dengan berat kemasan tidak sesuai label. Sampel dikirim ke laboratorium untuk pengujian lanjutan.

Kota Makassar, Sulawesi Selatan:
Inspeksi gabungan bersama kepolisian menemukan beras dengan warna, aroma, dan tekstur tidak sesuai spesifikasi mutu premium, meskipun berlabel “super premium”.

Kepala Disperindag Tanjungpinang, menyatakan bahwa mereka siap mengajukan rekomendasi sanksi administratif dan pidana ringan terhadap pelaku distribusi nakal di wilayahnya.

Estimasi kerugian masyarakat akibat praktik manipulasi mutu ini mencapai Rp99 triliun. Ini mencakup selisih harga karena markup palsu, kerugian kualitas, dan dampak psikologis berupa hilangnya kepercayaan publik terhadap produk dalam negeri.

Dr. Diah Kurniawati, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menilai bahwa kerugian tidak hanya dalam bentuk materi:

> “Ketika rakyat merasa tertipu terus-menerus oleh korporasi, maka trust (kepercayaan) pada negara ikut hancur. Bukan cuma beras yang dioplos, tapi juga kepercayaan rakyat yang dihancurkan.”

Langkah Konkret yang Dituntut Publik

Berbagai LSM, asosiasi konsumen, dan akademisi menyuarakan tuntutan:

1. Audit nasional terhadap seluruh rantai distribusi beras oleh lembaga independen.

2. Penerapan sanksi pidana ekonomi berat bagi produsen/pengemas nakal.

3. Transparansi hasil pengujian dan investigasi kepada publik.

4. Revitalisasi sistem labelisasi dan pengawasan mutu oleh BPOM dan Kementan.

5. Moratorium izin impor dan distribusi untuk perusahaan yang melanggar.

Publik pantas marah. Skandal ini bukan sekadar pelanggaran dagang, tapi pengkhianatan terhadap kebutuhan pokok rakyat. Beras adalah makanan utama 270 juta penduduk Indonesia. Manipulasi terhadapnya adalah manipulasi terhadap kebutuhan hidup dasar.

Jika pemerintah dan aparat hukum tidak bertindak tegas, maka negara seolah membiarkan rakyat terus menjadi korban — bukan hanya dari praktik oplosan, tetapi dari ketidakadilan sistemik yang terus berulang.”(Tim Redaksi SF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *