sidikfokusnews.com -Tanjung moco-Kepulauan Riau. – Pemerintah pusat melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi meluncurkan program pelelangan terhadap 4,25 juta metrik ton bijih bauksit yang disita dari sejumlah kasus hukum di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Nilai aset yang dilelang ini ditaksir mencapai Rp1,4 triliun, menjadikannya sebagai salah satu agenda penyelamatan aset negara terbesar di sektor pertambangan pasca-reformasi. Namun, di tengah euforia penerimaan negara dan semangat penegakan hukum, muncul pertanyaan mendasar dari masyarakat di akar rumput: bagaimana nasib hak-hak warga pemilik lahan yang belum terselesaikan?
Dalam seremoni simbolis yang digelar di Tanjung Moco, Tanjungpinang, Senin (28/7), Wakil Menkopolhukam Lodewijk Freidrich Paulus bersama Plt Wakil Jaksa Agung Asep Nana Mulyana menandai dimulainya proses lelang aset tambang tersebut. Lokasi-lokasi stockpile tersebar di banyak titik di Tanjungpinang dan Bintan, mulai dari Pulau Kentar, Wacopek, Tembeling, Pulau Kelong, hingga Pulau Dendang dan Senggarang Besar. Banyak dari lokasi ini sebelumnya digunakan oleh perusahaan tambang bauksit yang kini telah dikenai sanksi hukum atau dicabut izinnya.
Lodewijk menyebut bahwa meski bijih bauksit tersebut telah terbiar selama lebih dari satu dekade, kualitasnya diperkirakan masih layak bahkan mengalami pemadatan alami yang dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. “Proses lelang dilakukan demi menyelamatkan potensi penerimaan negara. Kalau pemenangnya dari Kepri, tentu kami harap ini bisa mendorong pembangunan smelter dan menciptakan lapangan kerja,” katanya.
Namun, tak semua pihak bersorak. Di balik kemeriahan pernyataan pejabat pusat, ada suara-suara yang pelan tapi dalam: suara para pemilik lahan yang merasa haknya diabaikan.
Lahan yang Diambil, Janji yang Hilang, misalnya Ali, warga Kecamatan Bintan Timur, menceritakan bahwa tanah keluarganya sempat digunakan untuk penambangan bauksit oleh salah satu perusahaan pada awal dekade 2010-an. “Katanya nanti diganti setelah bauksit diangkut. Tapi sampai sekarang kami hanya dapat kerusakan tanah, tidak ada pembayaran,” ujarnya. Ia mengaku kaget saat mengetahui bahwa stockpile dari tanah itu sekarang akan dilelang negara.
Sejumlah warga di Desa Tembeling, Pulau Kelong, dan Dompak juga mengaku mengalami hal serupa. Mereka menganggap pelelangan ini sebagai langkah tergesa-gesa tanpa penyelesaian konflik agraria yang menyertainya. Banyak dari mereka tidak memiliki akses hukum yang memadai untuk menggugat hak mereka ke pengadilan, apalagi jika berhadapan dengan negara.
Ahli Pertambangan: Legalitas Hasil Tak Meniadakan Hak Atas Tanah. Dr. Hendra Pasaribu, pakar teknik pertambangan dari ITB, menekankan bahwa dalam tata kelola sumber daya mineral yang berkeadilan, status kepemilikan lahan tak boleh diabaikan meski hasil tambangnya telah menjadi objek hukum. “Kalau negara menyita hasil tambang karena pelanggaran hukum, itu sah. Tapi kalau tanah tempat barang itu diambil masih sengketa atau belum diganti rugi, negara tetap punya kewajiban moral dan yuridis menyelesaikannya,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa proses lelang semestinya didahului dengan audit sosial dan agraria di seluruh titik stockpile. “Kalau tidak, lelang ini bisa dianggap sebagai legitimasi atas eksploitasi yang cacat hukum.”
Kejaksaan Agung sendiri mendasarkan tindakan ini pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang penyelesaian permohonan penanganan harta kekayaan dalam tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Asep Nana Mulyana menjelaskan bahwa bauksit tersebut telah berstatus inkracht, atau berkekuatan hukum tetap, setelah diproses menggunakan instrumen tersebut.
Sementara Sekretaris JAM Intelijen, Sarjono Turin, mengungkapkan bahwa penemuan potensi ekonomi dari stockpile bauksit ini bermula dari inisiatif Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara (PPDN). “Nilai ekonominya sangat besar. Dan ini menjadi contoh bahwa penegakan hukum juga bisa menjadi lokomotif pemulihan keuangan negara,” katanya.
Tanggapan Daerah: Minta Kewenangan Diberikan ke Pemda
DPRD Kepri sebelumnya telah meminta agar pengelolaan stockpile bauksit ini diberikan kewenangannya ke pemerintah daerah. Dengan demikian, prosesnya bisa lebih dekat ke masyarakat dan mampu memberikan kontribusi nyata dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut data yang dihimpun, total sisa bijih bauksit di wilayah Kepri mencapai lebih dari 8 juta metrik ton. Rinciannya: Tanjungpinang 2 juta ton, Lingga 3,1 juta ton, Karimun 1 juta ton, dan Bintan 2,1 juta ton. Bila dikelola dengan optimal, angka ini jauh lebih besar dari total yang akan dilelang saat ini.
Ade Fahmi, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Kepri, mengatakan pihaknya masih menunggu regulasi resmi dari pemerintah pusat terkait pembagian hasil lelang dan kewenangan pengelolaan. “Stockpile ini memang statusnya Barang Milik Negara. Tapi tentu kita harap daerah bisa mendapat peran, minimal bagian dari pendapatan atau akses untuk ikut menentukan arah pemanfaatannya,” ujarnya.
Pengamat Hukum: Negara Tak Boleh Menutup Mata. Dr. Alif Muhtadin, pakar hukum sumber daya alam dari UGM, menilai bahwa langkah pelelangan ini berisiko menciptakan preseden buruk bila tidak dibarengi penyelesaian konflik hak atas tanah. “Negara boleh menyita hasil tambang ilegal, tapi jangan abaikan bahwa rakyat pemilik lahan punya hak perdata. Jangan sampai negara bertindak seolah-olah menjadi penambang baru atas lahan sengketa,” katanya.
Ia menyarankan agar Kejaksaan, BPN, dan Kementerian ESDM segera membentuk tim verifikasi status tanah di setiap titik. “Kalau memang ada hak rakyat yang belum dipenuhi, maka hasil lelang dari lokasi itu harus disisihkan sebagian sebagai kompensasi.”
Solusi ideal atas kisruh ini adalah skema lelang yang bersandar pada audit sosial, hukum, dan agraria. Negara harus menunjukkan bahwa dalam menegakkan hukum, mereka tidak mematikan prinsip keadilan sosial. Mekanisme pengaduan publik harus dibuka seluas-luasnya, agar warga yang merasa dirugikan bisa menyampaikan bukti kepemilikan atau tuntutan kompensasi.
Pelelangan bauksit bisa saja menjadi kisah sukses pemulihan keuangan negara, namun tanpa penyelesaian hak-hak rakyat, narasi itu hanya akan menjadi monumen baru dari ketidakadilan. Negara harus membuktikan bahwa kekuatan hukumnya tidak menggilas suara lemah, tapi justru melindungi hak setiap warga negara—termasuk mereka yang selama ini hanya bisa melihat tanahnya diambil, hasilnya ditimbun, lalu akhirnya dilelang atas nama negara.
Ketika hukum berpadu dengan keberpihakan sosial, maka hasil tambang bukan hanya jadi sumber devisa, tapi juga alat rekonsiliasi antara negara dan rakyat. Dan itu jauh lebih berharga dari sekadar Rp1,4 triliun.”(Arf)