Oleh Prof. Dr. Asep Muhyidin, M.Pd.
Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Di tengah arus perubahan sosial yang begitu cepat, saya menyaksikan satu fenomena yang semakin kuat terasa: bahasa tidak lagi hanya menjadi alat komunikasi, tetapi telah menjelma sebagai ruang perebutan nilai, identitas, dan bahkan arah kebudayaan. Pengalaman saya lebih dari dua dekade mengajar, meneliti, dan berinteraksi dengan para pendidik serta masyarakat Banten meyakinkan saya bahwa bahasa adalah representasi paling jujur dari peradaban suatu bangsa.
Sebagai ilmuwan bahasa, saya memandang bahwa bahasa Indonesia hari ini menghadapi dua tantangan besar. Pertama, derasnya penetrasi teknologi yang membuat ragam tutur menjadi cair dan sering kali tercerabut dari akar budaya. Kedua, lemahnya kepedulian kolektif terhadap pemeliharaan identitas lokal, termasuk bahasa daerah sebagai penyangga karakter bangsa. Keduanya, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat mengikis keutuhan nilai yang selama ini kita rawat melalui pendidikan, kebudayaan, dan tradisi lisan.
Dalam berbagai penelitian saya mengenai kohesi gramatikal, wacana novel, keterhubungan bahasa dengan karakter bangsa, hingga representasi kearifan lokal Banten, ada satu benang merah yang tidak pernah terputus: masyarakat membutuhkan kehadiran bahasa yang bukan hanya indah secara struktur, tetapi juga kokoh sebagai rumah nilai. Bahasa harus mampu memantulkan pengalaman kolektif, menumbuhkan jiwa kritis, sekaligus mempertahankan kedalaman makna yang menjadi fondasi kehidupan sosial.
Saya sering menyampaikan dalam berbagai forum, baik di kantor bahasa, balai pelestarian kebudayaan, hingga ruang-ruang akademik, bahwa masa depan literasi bangsa tidak akan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi pendidikan yang digunakan, tetapi oleh seberapa kuat karakter bahasa yang kita ajarkan, kita contohkan, dan kita wariskan. Teknologi hanyalah alat; bahasa adalah ruh yang menghidupkan alat itu.
Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk terus ikut mengawal mutu pembelajaran bahasa Indonesia, baik di sekolah, perguruan tinggi, maupun ruang publik. Keterampilan berbahasa bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga tentang membangun kesadaran berpikir runtut, bernalar jernih, dan bertindak santun. Ketika murid-murid saya dahulu bertanya mengapa analisis wacana begitu penting, saya selalu menjawab: “Karena bangsa yang mampu membaca wacana dengan benar, adalah bangsa yang mampu memaknai realitas dengan bijaksana.”
Kini, melihat perubahan generasi, saya semakin yakin bahwa pendidik harus hadir bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga penjaga moral bahasa. Bahasa yang baik akan melahirkan cara berpikir yang baik. Cara berpikir yang baik akan melahirkan tindakan yang bermartabat. Inilah mata rantai yang tidak boleh kita putuskan.
Sebagai anak yang lahir di Sumedang dan berkarier di Banten, saya merasakan betul bagaimana bahasa menjadi jembatan antara sejarah, budaya, dan masa depan. Banten, dengan kekayaan tradisi dan kekuatan kearifan lokalnya, memiliki peluang besar menjadi contoh provinsi yang serius dalam memelihara identitas bahasa. Namun hal ini hanya dapat terwujud apabila kolaborasi antara akademisi, pemerintah, pendidik, dan masyarakat berjalan selaras.
Saya percaya bahwa tugas seorang ilmuwan bukan hanya menghasilkan publikasi, buku, atau penelitian, tetapi menghadirkan pencerahan. Setiap tulisan, setiap ceramah, setiap dialog adalah bagian dari ihktiar menjaga martabat bahasa. Dan selama bangsa ini masih berkomunikasi, selama itu pula bahasa memerlukan penjaga-penjaganya.
Pada akhirnya, opini ini adalah ajakan bagi semua pihak: mari menempatkan bahasa sebagai ruang untuk merawat kebijaksanaan, bukan sekadar alat bertukar kata. Karena di balik setiap ujaran, terdapat nilai. Di balik setiap nilai, terdapat karakter. Dan di balik karakter yang kuat, berdirilah sebuah bangsa yang bermartabat.
(Redaksi)

















