sidikfokusnews.com-Tarempa/Natuna- Kepulauan Riau.— Di ujung barat Indonesia, dua gugus pulau strategis, Anambas dan Natuna, menyimpan cadangan minyak, gas, dan potensi kelautan yang luar biasa. Namun di balik kekayaan alam itu, angka kemiskinan masih mencolok, infrastruktur tertinggal, dan kesejahteraan masyarakat berjalan jauh di belakang daerah penghasil sumber daya lain.
“Ini ironi yang sudah terlalu lama dibiarkan,” kata Muhammad Fadil Hasan, SH, pemerhati sosial-politik Kepulauan Riau. “Kekayaan alam diangkut ke pusat, pajak dan konsesi mengalir ke Jakarta, sementara masyarakat di daerah penghasil hanya menerima remah. Inilah bentuk ketidakadilan fiskal yang harus kita lawan dengan cara konstitusional.”
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sebagian besar pendapatan negara dari sektor migas diambil melalui skema bagi hasil yang ditentukan pusat. Daerah hanya memperoleh persentase terbatas, itupun seringkali tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan beban sosial-ekonomi yang ditanggung masyarakat setempat.
“Daerah seperti Anambas dan Natuna menghadapi fenomena resource curse versi lokal,” jelas Dr. Farid Anwar, ekonom regional Universitas Riau. “Mereka kaya sumber daya, tapi tanpa kontrol fiskal dan politik, mereka hanya menjadi penonton. Nilai tambah ekonomi tidak tinggal di daerah, melainkan tersedot ke pusat dan segelintir oligarki.”
Model pembangunan yang sentralistik, menurut Farid, melahirkan ketergantungan kronis: daerah penghasil harus ‘mengemis’ ke Jakarta untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau jalan, padahal hasil bumi mereka menopang APBN.
Aceh dan Papua menjadi contoh konkret bagaimana konsolidasi tokoh politik, masyarakat sipil, dan kepala daerah dapat memaksa pemerintah pusat memberi status otonomi khusus dengan skema bagi hasil yang lebih adil.
“Apakah sempurna? Tidak. Bahkan di Aceh dan Papua pun masih ada manipulasi birokrasi. Tapi tetap saja, porsi dana yang kembali ke daerah meningkat signifikan setelah mereka bersatu menuntut haknya,” ujar Fadil Hasan.
Menurutnya, kepala daerah Anambas dan Natuna tidak bisa lagi bergerak sendiri-sendiri. Harus ada koalisi strategis melibatkan tokoh pejuang pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas, tokoh adat, ormas, LSM, partai politik, akademisi, hingga masyarakat nelayan dan pemuda.
“Jika perjuangan dilakukan bersama, dengan suara bulat, pusat tidak akan bisa mengabaikan. Inilah momentum karena perhatian nasional sedang tertuju pada wilayah perbatasan dan pulau terluar,” tegas Fadil Hasan
Pandangan. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Prof. Nurhayati Lubis, menilai tuntutan ini memiliki dasar konstitusional yang jelas. Pasal 18B UUD 1945 memungkinkan daerah memperoleh kekhususan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan tertentu.
“Selama ini pendekatannya terlalu birokratis. Padahal ruang politik dan hukum untuk menegosiasikan skema bagi hasil yang lebih adil terbuka lebar. Pemerintah daerah hanya perlu membangun political will dan menyatukan suara masyarakat,” ujarnya.
Fadil Hasan menegaskan, perjuangan ini bukan bentuk makar atau separatisme, melainkan tuntutan keadilan fiskal agar daerah bisa membangun tanpa selalu bergantung pada pusat.
“Kita hanya ingin hak kita kembali. Kalau pusat bisa hidup kaya raya dari hasil bumi daerah, mengapa masyarakat di sekitar sumur minyak dan ladang gas tetap miskin? Ini ketidakadilan yang harus diakhiri,” tegasnya.
Dengan status otonomi khusus, daerah akan memiliki kewenangan lebih besar mengelola pajak, retribusi, dan dana bagi hasil. Namun para ahli mengingatkan: kewenangan itu harus diiringi transparansi, tata kelola yang baik, dan partisipasi masyarakat agar tidak berujung pada oligarki lokal baru.
Momentum Menuju Keadilan Daerah. Dengan ketimpangan yang terus melebar, banyak pihak melihat inilah saatnya Anambas dan Natuna menuntut perubahan. Konsolidasi tokoh politik, masyarakat adat, akademisi, dan kepala daerah diyakini menjadi kunci untuk membuka pintu negosiasi serius dengan pemerintah pusat.
“Kalau Aceh dan Papua bisa, kenapa Anambas dan Natuna tidak? Ini soal keberanian politik, konsolidasi sosial, dan keseriusan memperjuangkan hak rakyat,” tutup Fadil Hasan.”(redaksiSF)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 157