sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Polemik pengelolaan laut dan pungutan jasa labuh jangkar kembali mengemuka di Kepulauan Riau (Kepri). Aliansi Gerakan Bersama (GEBER-KEPRI) secara tegas menyatakan bahwa hak kelola ruang laut adalah hak konstitusional daerah, sebagaimana dijamin UUD 1945 dan diperkuat dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bagi aliansi ini, persoalan pungutan jasa labuh jangkar tidak bisa dipandang sebatas urusan teknis atau sekadar regulasi. Lebih dari itu, isu ini menyentuh jantung persoalan keadilan, kedaulatan daerah, dan kesejahteraan masyarakat Kepri.
Hak Konstitusional Daerah
Dalam pernyataannya, GEBER-KEPRI menekankan bahwa Pasal 18B UUD 1945 menjamin hak daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Hal ini diperjelas dalam UU 23/2014 yang menegaskan bahwa provinsi memiliki kewenangan penuh dalam mengelola laut hingga 12 mil dari garis pantai.
“Laut adalah ruang hidup masyarakat Kepri. Jika kewenangan itu diabaikan, sama saja menghilangkan hak konstitusional rakyat yang hidup dari laut,” ujar Said Ahmad Sukri, tokoh muda pergerakan GEBER-KEPRI.
Menurutnya, pungutan jasa labuh jangkar mestinya menjadi instrumen nyata untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta menggerakkan roda ekonomi lokal. “Tidak boleh ada lagi praktik di mana hasil dari ruang laut kita justru lari ke pusat atau segelintir elite politik dan pengusaha,” tambahnya.
Pakar hukum tata negara, Prof. Marwan Efendi, menilai isu ini merupakan konsekuensi dari desentralisasi yang setengah hati. “Konstitusi memang memberi ruang otonomi, tetapi regulasi teknis sering kali mengkerdilkan kewenangan daerah. Inilah yang menimbulkan konflik antara pusat dan daerah, khususnya di wilayah maritim seperti Kepri,” jelasnya.
Prof. Marwan menekankan bahwa pengelolaan laut bukan hanya soal hukum positif, tetapi juga soal keadilan distributif. “Jika hasil laut tidak memberi manfaat langsung kepada rakyat Kepri, maka prinsip keadilan sosial dalam Pancasila belum terpenuhi. Ini bisa memicu ketidakpercayaan pada negara.”
Dari sisi ekonomi, pungutan jasa labuh jangkar memiliki potensi signifikan. Kepri yang strategis di jalur pelayaran internasional menjadi lokasi persinggahan kapal-kapal besar dunia. Namun, manfaat ekonominya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat.
Dato Huzrin Hood, menilai tata kelola yang transparan menjadi kunci. “Pendapatan dari labuh jangkar harus masuk ke kas daerah dan digunakan untuk program prioritas: kesejahteraan nelayan, pengembangan UMKM, dan infrastruktur maritim. Jika dikelola dengan benar, potensi ini bisa menjadi lokomotif pembangunan Kepri,” ujarnya.
Sikap tegas GEBER-KEPRI juga merefleksikan keresahan masyarakat sipil. Nelayan, UMKM, dan tokoh masyarakat menuntut keterlibatan nyata dalam proses kebijakan. Mereka khawatir, jika ruang laut hanya dikelola oleh elite politik, maka rakyat kecil akan tetap terpinggirkan.
“Transparansi adalah harga mati. Jika masyarakat tidak dilibatkan, pungutan labuh jangkar hanya akan jadi sumber baru oligarki,” ungkap seorang perwakilan nelayan di Tanjungpinang.
Renungan Demokrasi Lokal
Pengamat lokal, melihat pernyataan GEBER-KEPRI sebagai alarm demokrasi. “Isu kelola laut adalah cermin relasi pusat-daerah. Jika suara masyarakat Kepri diabaikan, maka demokrasi lokal hanya menjadi formalitas tanpa substansi. Pusat harus mendengar, bukan sekadar mengatur dari jauh.”
Pernyataan GEBER-KEPRI ini tidak hanya menyoal soal teknis pungutan, tetapi mengangkat isu mendasar: apakah negara benar-benar hadir untuk menjamin kedaulatan daerah dan kesejahteraan rakyatnya?
Kepri yang berada di garis depan maritim Indonesia kini menuntut jawaban konkret. Bagi aliansi ini, perjuangan hak kelola laut bukanlah sekadar agenda politik sesaat, melainkan amanah sejarah yang harus diperjuangkan demi generasi hari ini dan masa depan.”arf-6