banner 728x250
Hukum  

Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto: Ujian Integritas Hukum dan Simbol Rekonsiliasi Nasional

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jakarta.— Langkah Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, disetujui DPR RI pada 31 Juli 2025, memicu diskursus luas di kalangan hukum, politik, dan masyarakat sipil. Tak sekadar keputusan hukum, dua kebijakan ini menjadi penanda penting atas arah politik nasional pasca pemilu yang sarat polarisasi.

banner 325x300

Di tengah kegalauan hukum dan kecurigaan publik terhadap elite politik, muncul pertanyaan fundamental: Apakah abolisi dan amnesti ini bentuk kearifan negara atau kompromi kuasa?

Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan dan salah satu tokoh ekonomi yang banyak disegani karena rekam jejak profesional dan sikap kritisnya, divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara impor gula pada 2024. Namun vonis tersebut belum inkrah dan masih dalam proses banding ketika Presiden Prabowo mengajukan abolisi.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Prof. Zainal Arifin Mochtar, menyebut langkah ini “sah secara konstitusional, tetapi memerlukan pertanggungjawaban moral.” Ia menekankan bahwa abolisi memang diatur dalam UUD 1945 dan menjadi hak prerogatif presiden, namun hanya sepatutnya digunakan dalam kasus yang menyimpan potensi ketidakadilan struktural atau politisasi proses hukum.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyebut pengajuan abolisi terhadap Tom sebagai indikasi bahwa pemerintah ingin merekonsiliasi dengan kelompok intelektual dan oposisi moderat. “Namun pesan transparansi dan akuntabilitas harus tetap dijaga, agar tidak muncul kesan impunitas,” ujar Wahyudi.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap dan perintangan penyidikan terkait buronan Harun Masiku. Namun namanya masuk dalam daftar 1.116 narapidana yang mendapat amnesti kolektif dari Presiden Prabowo menjelang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai pemberian amnesti kepada tokoh politik seperti Hasto sebagai “langkah sarat simbolisme” dan perlu diawasi ketat agar tidak mencederai prinsip equality before the law. “Jika amnesti menjadi instrumen transaksional, kepercayaan publik terhadap sistem hukum bisa makin runtuh,” ujarnya.

Namun menurut analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, keputusan ini lebih dari sekadar manuver kekuasaan. “Prabowo sedang membentuk ulang lanskap politik nasional. Ia ingin menghapus sekat-sekat ideologis dan membuka jalur dialog yang lebih inklusif,” jelasnya.

Reaksi Politik: Megawati dan Peta Baru Kekuasaan, setelah pengesahan abolisi dan amnesti, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan pernyataan politik yang mengubah arah peta kekuasaan: seluruh kader PDIP diminta untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo.

Pernyataan ini mengakhiri spekulasi seputar posisi PDIP sebagai oposisi dan membuka babak baru kerja sama lintas partai. Deklarasi tersebut juga dilihat sebagai konsolidasi kekuatan nasional menghadapi tantangan global dan domestik, dari inflasi hingga ketegangan geopolitik.

“Ini momen monumental dalam sejarah politik pascareformasi,” ujar Prof. Ikrar Nusa Bhakti, pengamat politik senior. “Dua kutub politik besar sepakat menurunkan ego demi kepentingan stabilitas nasional. Itu bukan hal yang sering terjadi.”

Abolisi dan amnesti dalam praktik hukum modern sering kali menjadi instrumen pemulihan pascakonflik atau jalan damai dalam krisis politik. Namun keduanya juga menyimpan bahaya besar jika dilakukan tanpa transparansi: risiko mencederai rasa keadilan masyarakat dan merusak kepercayaan pada supremasi hukum.

Koordinator ICW, Kurnia Ramadhana, mengingatkan agar negara tak menjadikan pengampunan sebagai jalan pintas untuk meredam lawan politik atau menutup kasus besar. “Hasto terjerat dalam kasus besar yang hingga kini belum tuntas secara menyeluruh. Jika ini dianggap selesai dengan amnesti, publik bisa merasa dikorbankan,” tegasnya.

Namun sebagian kalangan sipil, seperti Gus Roy Murtadlo dari Jaringan Santri Hukum, melihat keputusan ini dari sisi keadilan restoratif. “Negara boleh tegas, tapi juga bisa welas asih. Yang penting bukan siapa yang diampuni, tapi sejauh mana prosesnya adil, transparan, dan untuk kebaikan bangsa,” ungkapnya.

Politik Pengampunan dan Masa Depan Demokrasi. Presiden Prabowo tampaknya sadar bahwa tantangan terbesar Indonesia hari ini bukan semata ekonomi atau pertahanan, melainkan menjaga kohesi nasional di tengah krisis kepercayaan. Dalam situasi dunia yang semakin gaduh—dari perang Ukraina, krisis pangan, konflik Laut Cina Selatan hingga ekstremisme domestik—langkah rekonsiliasi bisa menjadi fondasi pembangunan.

Namun jalan rekonsiliasi harus dijalankan dengan kehati-hatian. Karena pengampunan tanpa akuntabilitas berpotensi menyimpan bara dalam sekam. Seperti disampaikan Denny JA dalam esainya, keberanian sejati bukan membalas luka, melainkan menjadikan luka sebagai jembatan menuju masa depan.

Jika pengampunan ini tulus dan disertai perbaikan sistem hukum, maka 2025 bisa dikenang sebagai tahun ketika Indonesia memulai kembali, bukan sebagai negara impunitas, tetapi sebagai bangsa yang dewasa secara politik dan berani menyembuhkan dirinya sendiri.

Namun jika langkah ini hanya bagian dari barter kekuasaan dan pengaturan ulang aliansi politik, maka bangsa ini kembali kehilangan momentum untuk tumbuh dengan jujur dan utuh.

Semoga rakyat yang selama ini terdampak kebijakan tidak adil, diberi kekuatan untuk melihat niat sejati di balik rekonsiliasi ini—dan negara pun diberi keberanian untuk tetap menegakkan hukum dengan jalan yang benar, bukan dengan jalan pintas.”(timredaksi-SF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *