sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.- Situasi fiskal Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tengah disorot tajam. Di balik narasi pembangunan dan ambisi gedung tujuh lantai bernilai lebih dari Rp250 miliar, kenyataan di lapangan menunjukkan ironi: gaji dan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) pegawai belum terbayarkan, bahkan setelah dana transfer dari pemerintah pusat dikabarkan sudah masuk.
Kondisi ini menimbulkan keresahan di kalangan ASN, aktivis, hingga kelompok masyarakat sipil. Tidak sedikit yang mempertanyakan: untuk apa dan ke mana sebenarnya dana tersebut digunakan?. Ketika hak-hak dasar pegawai belum terpenuhi, muncul pertanyaan yang lebih besar—mengapa pemerintah justru ngotot dengan proyek pembangunan gedung mewah tujuh lantai di tengah krisis keuangan?
Riswandi Tanjung, salah satu penggerak aspirasi publik dalam konsolidasi kelompok GEBER (Gerakan Bersama), mengungkapkan kekecewaannya atas sikap DPRD Kepri yang terkesan pasif dalam menyikapi aspirasi publik. Bahkan, komunikasi informal dengan beberapa anggota dewan menunjukkan bahwa semangat mereka untuk menindaklanjuti tuntutan publik cenderung dingin.
“Barusan Bowo telpon saya. Katanya semalam rapat sampai malam, jadi belum sempat respon. Hari ini Iman tidak masuk kantor karena besok mau berangkat umrah. Kata Bowo, tunggu dia pulang umrah, itupun kalau pasti,” ujarnya menyampaikan percakapan tersebut dengan nada heran. Ia menilai, jika urusan rakyat ditunda karena kepergian pribadi, maka integritas dan empati perwakilan rakyat patut dipertanyakan.
Ketika masyarakat mempertanyakan penggunaan dana, dan ASN belum menerima haknya, gedung baru yang ditargetkan menelan anggaran ratusan miliar justru tampak jadi prioritas. Kondisi ini membangkitkan kemarahan publik karena menunjukkan ketidaksesuaian antara prioritas pemerintah dengan kebutuhan riil rakyat.
“Ini bukan lagi sekadar soal program, ini soal rasa keadilan. Gaji pegawai belum ada kejelasan, TPP menggantung, tapi mega proyek jalan terus? Ini seperti menjual kehormatan rakyat demi etalase kosong,” kata seorang pengamat anggaran yang enggan disebut namanya.
Sejumlah elemen masyarakat mulai menggulirkan wacana class action terhadap lembaga pemerintah yang dinilai lalai dan tidak transparan dalam tata kelola keuangan daerah. Wacana ini muncul bukan tanpa dasar. Ketika pintu komunikasi formal tak digubris dan aspirasi diabaikan, mekanisme hukum menjadi jalan yang sah untuk menuntut kejelasan dan akuntabilitas.
Jusri Sabri, aktivis sosial yang selama ini aktif mengawal isu tata kelola anggaran, turut mempertanyakan lambannya reaksi DPRD Kepri. Ia bahkan melempar kecurigaan bahwa ada oknum dalam parlemen yang berperan sebagai “penjaga proyek”.
“Kalau DPRD pasif, bisa jadi ada oknum yang memang menjaga proyek ini. Bukan tidak mungkin sebagian dari mereka adalah bagian dari jaringan pengaman politik proyek tersebut,” ungkap Jusri. Ia menambahkan bahwa tidak responsifnya DPRD terhadap tekanan masyarakat menunjukkan ada persoalan yang lebih dalam dari sekadar perbedaan pandangan.
Situasi ini menempatkan GEBER dalam posisi penting sebagai gerakan rakyat yang tidak hanya menyuarakan penolakan terhadap proyek tak prioritas, tetapi juga mendesak reformasi tata kelola fiskal di Kepri. Aspirasi yang mereka bawa bukan sekadar gugatan moral, tetapi juga tuntutan sistemik agar pemerintah dan DPRD menjalankan mandatnya dengan penuh tanggung jawab.
Dalam berbagai diskusi internal, GEBER menyatakan bahwa mereka tidak anti pembangunan, namun menuntut penyesuaian prioritas. Di tengah PAD yang minim, beban gaji yang menumpuk, serta kebutuhan publik dasar yang belum terpenuhi, pembangunan gedung megah seharusnya bisa ditunda. Apalagi, jika proyek tersebut disinyalir lebih kental dengan kepentingan citra dan politik anggaran daripada manfaat publik jangka pendek.
Jika DPRD Kepri tetap tidak memberikan respon, GEBER dan sejumlah organisasi sipil mengindikasikan bahwa jalur hukum, termasuk class action terhadap pemda dan DPRD, bisa menjadi opsi yang serius. Tujuannya bukan untuk mempermalukan siapa pun, melainkan memastikan bahwa suara rakyat tidak hanya menjadi gema kosong di ruang publik.
Pada akhirnya, inilah ujian bagi pemerintahan provinsi dan DPRD Kepri: apakah mereka masih memiliki empati pada rakyat dan nurani dalam menjalankan anggaran, atau telah berubah menjadi korporasi politik yang menjadikan APBD sebagai alat etalase pencitraan? Rakyat menanti, dan keadilan tak bisa lagi menunggu.”(Arf)