sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.- Polemik penguasaan aset milik PT Bintan Inti Sukses (PT BIS) yang beroperasi di wilayah administratif Kota Tanjungpinang kembali menjadi sorotan publik, kali ini dengan pendekatan hukum yang lebih tajam dan sistematis. Dalam berbagai diskusi lintas elemen masyarakat sipil, menguat satu narasi tegas: meskipun PT BIS merupakan BUMD milik Pemerintah Kabupaten Bintan, seluruh asetnya tetap tunduk pada yurisdiksi wilayah administratif Kota Tanjungpinang, dan bisa dialihkan atau dikelola bersama bila diperlukan.
Penegasan tersebut tidak datang tanpa dasar. PT BIS memang merupakan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) milik Pemkab Bintan, perusahaan yang seluruh modal dan asetnya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Artinya, PT BIS adalah perusahaan plat merah, namun bukan lagi membawa status “barang milik daerah” (BMD) secara langsung.
Dasar hukum yang menguatkan hal ini tercantum dalam serangkaian regulasi penting, di antaranya:
Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang menjelaskan bahwa hanya aset yang masih dikuasai langsung oleh pemerintah daerah yang termasuk kategori BMD. Aset yang telah dijadikan penyertaan modal ke BUMD tidak lagi masuk dalam neraca BMD.
PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang menegaskan bahwa setelah aset diserahkan kepada BUMD sebagai penyertaan modal, statusnya berubah menjadi aset perusahaan.
PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD yang dalam Pasal 35 menyatakan bahwa dana atau barang yang telah diserahkan kepada BUMD sebagai penyertaan modal akan beralih status menjadi aset perusahaan, bukan lagi barang milik daerah secara langsung.
Permendagri Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah yang menyebutkan secara eksplisit bahwa penyertaan modal kepada BUMD bukan lagi dicatat sebagai aset tetap daerah, melainkan sebagai investasi.
Dengan dasar ini, maka seluruh aset milik PT BIS secara hukum bukan lagi menjadi milik Pemerintah Kabupaten Bintan, melainkan menjadi aset korporasi dari BUMD tersebut. Namun karena keberadaan aset tersebut secara fisik berada dalam wilayah Kota Tanjungpinang, kewenangan administratif tetap berada di tangan Pemko Tanjungpinang.
Oleh karena itu, Pemko memiliki dasar hukum yang kuat untuk:
Menuntut penyesuaian izin, pajak, dan kontribusi daerah yang seharusnya disetorkan ke kas Kota Tanjungpinang.
Menarik kembali atau mengklaim hak pengelolaan aset sesuai dengan asas kewenangan wilayah administratif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Melakukan evaluasi terhadap potensi kerugian daerah yang timbul akibat pengelolaan aset strategis oleh entitas milik daerah lain yang tidak memberikan manfaat fiskal bagi kota.
Dalam konteks pengambilan keputusan dan manajemen BUMD, dasar lainnya adalah Permendagri Nomor 118 Tahun 2018, yang mengatur bahwa segala proses strategis dalam BUMD—seperti pemilihan direksi, komisaris, serta kebijakan modal—harus disetujui melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), di mana pemegang saham utama adalah kepala daerah. Artinya, jika aset-aset PT BIS telah terbukti tidak memberikan manfaat bagi Kota Tanjungpinang, maka secara hukum, pemda memiliki kewenangan penuh untuk menariknya kembali, melalui skema pelepasan, redistribusi, atau kerja sama pengelolaan baru.
Aliansi Gerakan Bersama Kepri Tanjungpinang dalam pernyataannya mendorong agar Pemko segera melibatkan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) serta Kejaksaan Negeri untuk mengkaji lebih jauh celah hukum dan preseden (yurisprudensi) terkait pengembalian aset BUMD lintas wilayah administratif. Opsi-opsi yang ditawarkan antara lain adalah: pengambilalihan penuh aset oleh Pemko, pengelolaan bersama antara Pemko dan Pemkab, atau restrukturisasi kepemilikan BUMD untuk menjamin keadilan fiskal.
Permasalahan ini muncul dalam konteks lebih besar mengenai minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tanjungpinang, yang pada tahun 2024 hanya mencapai Rp1,98 miliar—angka yang sangat kecil untuk ukuran ibu kota provinsi. Ketimpangan ini menjadi bukti nyata bahwa banyak potensi ekonomi yang terlepas dari kontrol Pemko akibat penguasaan aset oleh pihak luar, meskipun berada di tengah jantung wilayah kota.
Langkah DPRD Kota Tanjungpinang pun ditunggu publik. Kehadiran pejabat bidang aset, Inspektorat, Biro Hukum, serta unsur BUMD dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) menjadi langkah awal untuk membedah lebih lanjut duduk perkara ini, tidak sekadar secara administratif, tetapi juga dari perspektif kedaulatan fiskal dan keadilan pemerintahan lokal.
Dengan berbagai regulasi sebagai rujukan hukum yang sah, kini bola ada di tangan pemerintah kota. Apakah akan membiarkan aset strategis kota terus dikendalikan tanpa kontribusi signifikan bagi masyarakat, atau segera mengambil langkah hukum untuk menata ulang pengelolaan dan pengembalian aset demi kesejahteraan Tanjungpinang ke depan.”(Arf)