sidikfokusnews.com. Batam.-Dalam pengajian bulanan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batam, Prof. Dr. Ir. H. Chabullah Wibisono, MM, menyampaikan materi mendalam bertema “Spirit Hijrah 1447 Menuju Bandar Dunia Madani”. Pengajian ini tidak sekadar menjadi ruang kontemplasi spiritual, tetapi juga panggung strategis untuk mengurai berbagai tantangan umat Islam kontemporer dan peran vital ulama serta masyarakat dalam mewujudkan Batam sebagai pusat peradaban dunia.
Dalam pembukaannya, Prof. Chabullah mengangkat ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan keutamaan hijrah, seperti dalam QS. An-Nahl ayat 41 dan QS. At-Taubah ayat 20. Hijrah bukan hanya dipahami sebagai perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan sebagai strategi besar untuk mendirikan masyarakat baru yang aman, beradab, dan berpijak pada nilai-nilai Islam secara menyeluruh (kaffah). Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 208, yang menyerukan umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas, bukan parsial.
Lebih jauh, Prof. Chabullah memaparkan realitas kondisi umat Islam saat ini. Dalam berbagai aspek kehidupan—ekonomi, sosial, politik, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi—umat Islam dinilai masih tertinggal. Tak hanya itu, umat juga masih dibayangi tuduhan intoleransi dan radikalisme. Berdasarkan data tahun 2022, Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKU) di Provinsi Kepulauan Riau berada pada angka 85, tertinggi se-Indonesia. Namun pada tahun 2024 mengalami penurunan signifikan menjadi 83%, yang menunjukkan adanya tantangan baru dalam menjaga kerukunan dan toleransi.
Fenomena semakin maraknya aliran-aliran menyimpang di Batam, seperti Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, dan aliran-aliran sempalan lainnya, menjadi perhatian serius. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa salah satu faktor utama dari merebaknya aliran-aliran tersebut adalah kurangnya konsistensi atau istiqamah dalam mempraktikkan ajaran Islam secara kaffah. Ketidakkonsistenan ini membuka celah bagi penyesatan, penyimpangan, dan perpecahan dalam tubuh umat.
Dalam menghadapi tantangan ini, Prof. Chabullah menegaskan pentingnya peran ulama sebagai problem solver. Ulama adalah pewaris para Nabi yang tidak hanya memiliki tanggung jawab moral dan spiritual, tetapi juga intelektual dalam membimbing umat. Di era modern ini, ulama dituntut untuk mampu menjawab berbagai tantangan kehidupan dengan solusi berbasis Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda bahwa ulama adalah pewaris para nabi (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Segala aspek kehidupan umat telah diberikan petunjuk oleh Al-Qur’an: dalam bidang politik (QS. An-Nur: 55), ekonomi (QS. As-Saff: 10–11, QS. Al-Jumu’ah: 10), dan pendidikan (QS. Ali Imran: 190–191). Oleh karena itu, jika umat Islam memegang teguh petunjuk tersebut dan mengamalkannya dengan benar, maka akan tercipta masyarakat madani yang bukan hanya taat secara ritual, tetapi juga beradab, sopan santun, dan penuh harmoni.
“Spirit hijrah menuju terwujudnya Batam sebagai bandar dunia bukan sekadar wacana, tetapi harus dijadikan visi besar yang ditopang oleh penguatan nilai-nilai keislaman, pendidikan berkualitas, dan pembangunan sosial yang inklusif. Madani berarti berperadaban, dan peradaban tidak lahir tanpa konsistensi moral dan intelektual,” ujar Prof. Chabullah.
Penggunaan istilah “Madani” sendiri merujuk pada sejarah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian dinamakan Al-Madinah Al-Munawwarah. Perubahan nama ini mencerminkan transformasi politis dan strategis menuju pusat peradaban Islam. Maka dari itu, menurut Prof. Chabullah, menjadikan Batam sebagai Bandar Dunia Madani adalah sebuah strategi kontemporer yang berpijak pada semangat hijrah yakni membentuk masyarakat baru yang aman, adil, toleran, dan sejahtera.
Dalam penutupnya, Prof. Chabullah mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama kaum intelektual dan para ulama, untuk bersama-sama mewujudkan visi besar ini dengan mengedepankan istiqamah, komitmen moral, dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan hijrah spiritual dan intelektual inilah, Batam dapat menjadi cahaya peradaban Islam di kancah global.
(Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 103