sidikfokusnews.com. Tanjungpinang.-Dalam seminar kebudayaan yang berlangsung di Lantai 1. Gedung 1. Gurimdam-Ismeth Abdullah.Usiversitas Maritim Raja Ali Haji. Penuh antusiasme di Bintan, pemerhati kebudayaan lokal Ir. H. Burhanuddin.Msi.
Membuka pandangannya secara reflektif dan tajam mengenai pentingnya memori sejarah sebagai fondasi pembangunan masa depan. Ia menegaskan bahwa memahami kembali jejak kejayaan Bintan pada masa lampau bukanlah semata-mata nostalgia, melainkan menjadi keharusan strategis untuk merancang masa depan daerah yang lebih berdaulat secara budaya dan ekonomi.
“Pertama-tama kita punya Bintan, pulau ini bukan sekadar daratan tapi simbol dari kehidupan yang pernah berjaya. Pemerintahan yang pernah berkuasa, sistem kehidupan masyarakatnya, dan jaringan ekonomi maritimnya memberi kita pelajaran berharga tentang apa yang mungkin kita bangun kembali,” ujar sang pemerhati dalam paparannya.
Ia menyoroti bagaimana posisi geografis Kepulauan Riau, khususnya Bintan, yang bersisian langsung dengan Selat Malaka—jalur pelayaran tersibuk di dunia—justru tidak berbanding lurus dengan capaian ekonomi daerah saat ini. Selat Malaka yang membentang sejauh 700 km menjadi nadi lalu lintas kapal internasional, dengan Singapura dan Malaysia menikmati keuntungan ekonomi hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. “Singapura hanya memiliki garis pantai beberapa kilometer di Selat Malaka, tapi bisa meraup hingga lebih dari 300 triliun rupiah per tahun. Sedangkan kita, Kepri, yang memiliki letak strategis, belum bisa menyentuh potensi itu secara maksimal,” tegasnya.
Dari keprihatinan ini, muncul satu garis pemikiran bahwa perlu ada konstruksi ulang kepentingan budaya, pembangunan, dan peran generasi muda dalam membentuk masa depan Kepri. Harapan itu, menurutnya, harus dimulai dari membumikan kembali memori kejayaan masa lalu ke dalam program-program nyata yang merevitalisasi nilai, semangat, dan warisan budaya lokal. “Pewarisan nilai tidak cukup hanya dengan cerita, tapi harus melalui pendekatan struktural dan sistematis agar bisa menjadi daya dorong generasi mendatang.”
Sebagai contoh, ia menyoroti bagaimana pada masa lampau, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar Bintan hidup makmur dari sektor perdagangan laut, perikanan, perkebunan, hingga pelayaran antarpulau. Kejayaan itu bukan fiksi, tapi realitas sejarah yang bisa dijadikan inspirasi. Bahkan dalam hal tata kelola politik, kerajaan-kerajaan masa silam memiliki sistem yang tertib dan berwibawa. “Kita bisa mereplikasi semangat itu. Bukan mengulang masa lalu, tapi mengambil nilai-nilai terbaiknya untuk membangun kekuatan ekonomi maritim di era sekarang,” ujarnya.
Pembangunan pariwisata, menurutnya, harus menjadi sektor unggulan yang berpijak pada kekuatan sejarah dan budaya. Orang-orang dahulu percaya bahwa laut bukan hanya sumber makanan, tapi juga jalur penghubung budaya, pasar ekonomi, dan ruang pertumbuhan sosial. “Semangat maritim adalah semangat membangun. Kita harus membawa semangat itu dalam narasi pembangunan kekinian, agar reformasi politik dan ekonomi tidak tercerabut dari akar sejarah,” tambahnya.
Seminar ini sendiri berlangsung dengan sangat meriah dan penuh energi. Di tengah masa libur akademik, mahasiswa tetap datang dan memenuhi ruangan. Moderator yakni Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, MA. Mencatat bahwa kehadiran peserta melampaui ekspektasi, terdiri dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, lembaga adat Melayu, pegiat sejarah, seniman lokal, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengangkat kembali kebesaran Bintan mulai tumbuh secara kolektif.
Dalam diskusi yang berlangsung, para peserta sepakat bahwa penguatan identitas budaya harus menjadi bagian dari strategi besar pembangunan daerah. Output dari seminar ini bukan sekadar naskah ilmiah atau catatan diskusi, tetapi semangat kolektif yang harus diteruskan ke dalam kebijakan publik dan program kerja riil pemerintah daerah. “Ini bukan soal masa lalu yang harus dikenang, tapi masa depan yang harus dibentuk. Dari Bintan untuk Kepri, dari Kepri untuk Indonesia dan dunia,” simpul sang pemerhati kebudayaan di akhir sesi.
Semangat untuk menghubungkan sejarah, budaya, dan pembangunan menjadi pesan utama yang menggema dari seminar ini. Pulau Bintan, dengan seluruh kekayaan narasi sejarahnya, kini berdiri sebagai simbol harapan baru bagi generasi muda dan masyarakat Kepulauan Riau. Sebuah pulau yang dulu menjadi persinggahan para saudagar, pemimpin kerajaan, dan pelaut dunia, kini dihidupkan kembali dalam percakapan yang penuh visi dan komitmen terhadap masa depan.”(Arf)