banner 728x250

APBD Kepri dan “Perangkap” Mega-Proyek: Gedung Rp250 M di Tengah Seretnya Belanja Modal

banner 120x600
banner 468x60

 

Dompak, sidikfokusnews.com— Polemik pembangunan gedung tujuh lantai bernilai Rp250 miliar sebagai kantor terpusat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pulau Dompak kembali menyeruak, kali ini dari sisi fiskal. Pengamat kebijakan publik Chaidar Rahmat menilai proyek itu berpotensi menjadi “satu-satunya mega-proyek” dalam sepuluh tahun kepemimpinan Gubernur Ansar Ahmad, sekaligus memperkental kesenjangan antara belanja untuk masyarakat dan “belanja aparat”.

banner 325x300

Belanja modal masih seret

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kepulauan Riau 2025 tercatat Rp 3,918 triliun. Dari pagu itu, belanja modal hanya Rp 205,5 miliar—sekitar 6-7 persen keseluruhan APBD, jauh di bawah ambang 10 persen yang lazim dipakai ekonom daerah sebagai batas minimal kontribusi pembangunan infrastruktur publik.

Lebih memprihatinkan, hingga semester I 2025 realisasi belanja modal baru Rp 17 miliar (6,30 persen dari pagu). Pengamat fiskal Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Mira Yuliana, menyebut serapan rendah itu “menandakan masalah perencanaan dan eksekusi, bukan sekadar ketersediaan uang”.

Untuk perbandingan, rata-rata belanja modal di era almarhum Gubernur Muhammad Sani (2010-2015) berada di kisaran 15-18 persen menurut rekap internal DPRD—dua kali lipat kondisi saat ini. Kendati angka tersebut belum terpublikasi resmi, kecenderungannya diakui pejabat Bappeda sebagai “relatif lebih pro-infrastruktur”.

Sejauh ini hanya satu proyek besar

Sejak dilantik pada 2021, Gubernur Ansar mencatatkan satu proyek infrastruktur besar: flyover Simpang Ramayana setinggi 450 meter dengan biaya Rp 60 miliar, dibiayai pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Di luar itu, pembangunan fisik lebih banyak berskala rehabilitasi sekolah, penanganan stunting, dan penataan kawasan kumuh.

“Selama enam tahun, hanya satu flyover yang juga dibiayai utang. Kini tiba-tiba muncul rencana gedung Rp 250 miliar. Publik pantas bertanya apa urgensinya,” kritik Chaidar Rahmat dalam diskusi daring Forum Kebijakan Publik Kepri, Sabtu (29/6).

Efek dominonya: ‘pokir’ tergerus

Struktur APBD Kepri terkenal “gemuk” di belanja pegawai—tembus 60 persen. Sisa ruang fiskal diperebutkan antara belanja barang/jasa, belanja modal, dan pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang rata-rata mencapai Rp 240 miliar per tahun.

Jika proyek gedung dikontrak multiyears mulai 2026, rata-rata kewajiban cicilan akan menambah sekitar Rp 80-85 miliar per tahun pada komponen belanja modal hingga 2028–2029. Kenaikan itu memang akan mendorong porsi belanja modal ke kisaran 7-8 persen, tetapi secara langsung memotong ruang “pokir” yang selama ini dimanfaatkan legislator untuk program aspirasi konstituen. Ketua DPRD Iman Sutiawan sudah mengisyaratkan “menjerit” jika alokasi pokir dirasionalisasi.

“Gedung baru bukan prioritas. Jika dipaksakan, dewan tertekan karena pokir terpotong, sementara publik sulit merasakan manfaat langsung,” ujar Chaidar.

Risiko fiskal dan politik

Ekonom Indef, Dr. Faisal Basri, menilai angka Rp 250 miliar setara 12 persen belanja modal murni satu tahun. “Dengan Silpa minim dan PAD stagnan, proyek ini menambah rigiditas anggaran dan memeras belanja operasional wajib. Pemerintah daerah rentan terpaksa menarik pinjaman baru,” katanya dalam keterangan tertulis.

Di sisi politik, skema multiyears dapat menjadi “perangkap kewenangan budgeting”. Begitu kontrak ditandatangani, DPRD periode 2029 harus tetap menyediakan cicilan—meski komposisi politik sudah berubah. “Ini cara halus menciptakan path-dependency kebijakan,” jelas pengamat pemerintahan Lokal Politik Institute, Arman Siregar.

Opsi warga dan civil society

Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) Kepri yang sudah menggulirkan wacana class action kini diarahkan menyusun tuntutan lebih strategis:

Audit fiskal mendalam atas belanja modal, serapan pokir, dan pembiayaan utang.

Penundaan proses lelang gedung hingga revisi RPJMD disahkan secara terbuka—jika memang dianggap prioritas.

Kebijakan counter-proposal: menggeser Rp 250 miliar menjadi program perumahan nelayan, konektivitas pulau-terluar, atau beasiswa vokasi—dengan multiplier benefit yang terukur.

“Tanpa panduan fiskal yang pro-rakyat, APBD hanya jadi mesin birokrasi, bukan lokomotif kesejahteraan,”

Pemerintah belum bersuara

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Dinas PUPR Kepri dan Biro Pembangunan belum menjawab permohonan konfirmasi tertulis seputar feasibility study, skema pendanaan, maupun garis besar rencana pemanfaatan gedung. Juru bicara Pemprov hanya menyebut singkat: “Kita masih evaluasi kebutuhan ruang OPD agar pelayanan publik lebih efisien.”

Momentum perbaikan tata kelola

Pengamat hukum keuangan negara, Bivitri Susanti, mengingatkan: setiap megaproyek wajib tunduk pada UU 1/2024 tentang Hubungan Keuangan Pusat–Daerah dan Permendagri 77/2020 yang mewajibkan kajian manfaat serta risiko fiskal. Tanpa itu, proyek rawan tersandung ke aparat penegak hukum.

“APBD adalah instrumen keadilan inter-generasi. Jika 90 persen habis untuk belanja rutin dan birokrasi, apa yang tersisa bagi publik?” pungkas Chaidar Rahmat. “Gedung Rp 250 miliar mesti dipandang bukan sekadar beton, melainkan cermin orientasi kekuasaan: pelayanan atau pencitraan.” Redaksi sp

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *