Batam.sidikfokusnews.com_ Dalam rangka memperkuat ketahanan sosial berbasis nilai-nilai keagamaan yang damai dan moderat, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Batam menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penguatan Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Senin, 30 Juni 2025, di Aula Mini Kantor Kemenag Batam, Jalan Masjid Raya Baiturrahman No. 1, Sekupang.
Forum strategis ini menjadi bagian dari program kerja tahunan Kemenag Batam yang ditujukan untuk menjawab tantangan kerukunan dan stabilitas sosial-keagamaan di tengah masyarakat Batam yang multietnik dan majemuk. Dengan mengusung tema “Upaya Pencegahan Dini dan Penanganan Konflik Paham Keagamaan serta Membangun Sinergi Melalui Kebersamaan”, kegiatan ini menghadirkan berbagai tokoh penting lintas organisasi keagamaan dan media.
Acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB dan dihadiri oleh sejumlah tokoh agama, di antaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam, Ketua Al Jam’iyyatul Washliyah Kota Batam, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kota Batam, Ketua Muhammadiyah Kota Batam, serta para perwakilan media. Salah satu yang turut hadir mewakili media adalah Antoni, yang hadir sebagai perwakilan dari Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia, mewakili langsung Ketua IWO Indonesia, Nursalim, M.Pd., yang dikenal sebagai figur pers profesional yang aktif mengawal isu-isu kebangsaan, kerukunan, dan keadaban publik.
Kehadiran perwakilan media seperti IWO Indonesia menjadi penguat sinergi antara pemerintah dan dunia jurnalistik, terutama dalam memproduksi narasi-narasi damai, edukatif, dan menyejukkan di tengah gempuran informasi digital yang kerap mengandung ujaran kebencian dan provokasi. Media memiliki posisi strategis sebagai mitra negara dalam menciptakan ruang publik yang sehat dan rasional, sekaligus menjadi kanal komunikasi penting antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat luas.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam, Drs. H. Budi Dermawan, dalam sambutannya menegaskan pentingnya deteksi dini terhadap potensi konflik keagamaan sebagai bagian dari sistem pertahanan sosial nasional. Ia menyampaikan bahwa konflik berbasis agama, jika tidak ditangani sejak dini, dapat berkembang menjadi konflik horizontal yang kompleks dan membahayakan persatuan bangsa. Oleh karena itu, peran aktif tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media sangat diperlukan untuk mengantisipasi, meredam, dan menyelesaikan potensi gesekan sosial secara konstruktif dan damai.
Diskusi berlangsung dalam suasana terbuka dan partisipatif. Para peserta menyampaikan berbagai pengalaman dan strategi penanganan konflik di akar rumput, mulai dari penguatan literasi keagamaan, peran dai dan ulama moderat, hingga pengawasan terhadap konten-konten provokatif di media sosial. Forum ini juga merekomendasikan pentingnya pelatihan mediasi berbasis kearifan lokal dan pembentukan tim reaksi cepat lintas agama dalam menyikapi potensi konflik di masyarakat.
Kegiatan FGD ini tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga wahana konsolidasi gagasan untuk membangun mekanisme kerja bersama antara institusi pemerintah dan komunitas masyarakat sipil. Hasil dari forum ini akan dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan yang akan menjadi pedoman Kemenag Batam dalam program-program penguatan moderasi beragama dan pencegahan konflik keagamaan ke depan.
Dengan mengusung semangat gotong royong, inklusivitas, dan kepedulian sosial, Kementerian Agama Kota Batam berkomitmen untuk terus menjadi penggerak utama dalam menjaga kerukunan umat beragama di tengah tantangan zaman. Kehadiran tokoh-tokoh agama, organisasi kemasyarakatan, dan media dalam FGD ini menjadi bukti nyata bahwa sinergi adalah kunci keberhasilan dalam merawat harmoni dan persatuan di bumi Melayu Kota Batam. (Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 79