Kepulauan Riau.sidikfokusnews.com _Polemik mengenai perubahan sistem pemilu kembali mencuat, kali ini menyusul keputusan yang menyebabkan masa jabatan DPRD provinsi dan kabupaten/kota periode 2019–2024 diperpanjang secara de facto, melebihi lima tahun. Hal ini memicu reaksi keras dari sejumlah partai politik, termasuk NasDem, Demokrat, dan PAN, yang menyatakan keberatan atas skema baru ini.
Pusat perdebatan terletak pada tafsir konstitusi, khususnya Pasal 22E UUD 1945, yang mengamanatkan pemilihan umum dilakukan setiap lima tahun sekali. Namun, interpretasi terhadap pasal ini ternyata berbeda-beda, tergantung pada konteks dan kepentingan yang sedang bermain. Perubahan jadwal pemilu dan pelaksanaan Pilkada di tahun yang berbeda dari Pileg dan Pilpres menyebabkan ketidaksesuaian waktu jabatan legislatif di tingkat daerah — inilah yang disebut oleh pengamat sebagai “batu uji konstitusi yang multitafsir”.
Sistem Politik Parsial: Akar dari Kekacauan Institusional
Menurut pengamat politik dan pemerhati sosial Kepulauan Riau Chaidar Rahmat, kegaduhan ini berakar dari pendekatan kebijakan yang parsial — tidak menyentuh sistem secara utuh. Perubahan sistem pemilu semestinya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan perubahan pada:
Sistem Kepartaian
Harus ada penguatan institusional partai. Indeks Demokrasi (Party ID) menunjukkan rendahnya loyalitas dan afiliasi publik terhadap partai seperti NasDem, PAN, dan Demokrat. Sebaliknya, partai seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dan PKB memiliki basis yang lebih solid. Ketimpangan ini membuat partai kecil cenderung lebih vokal ketika merasa dirugikan.
Kaderisasi dan Rekrutmen Politik
Lemahnya sistem kaderisasi membuat partai lebih sibuk berburu jabatan ketimbang membina kader ideologis. Maka tak heran jika para politisi mudah berpindah haluan hanya karena tawaran “cuan dan jabatan”.
Desain Sistem Pemerintahan
Tidak adanya kejelasan peran kader partai dalam eksekutif menyebabkan kontradiksi antara jabatan publik dan loyalitas partai. Hal ini menjadi bumerang ketika keputusan politik justru berseberangan dengan kepentingan kolektif bangsa.
Politik Kepentingan: Sunyi Saat Untung, Ramai Saat Rugi
Fenomena diamnya mayoritas partai saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan putusan kontroversial terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pada 2024 menjadi contoh nyata. Hampir semua partai besar tidak bersuara lantang. Kenapa? Karena mereka merasa turut mendapat “cuan dan jatah kekuasaan”.
“Tidak ada pertemanan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi,” ujar Chaidar. Ketika keputusan merugikan, partai vokal. Tapi ketika menguntungkan, mereka diam seribu bahasa.
Anies dan Realitas Politik Oportunistik
Mantan Capres Anies Baswedan menjadi contoh tragis dari realitas politik yang tak mengenal kawan sejati. Satu per satu tokoh yang dulu mendukungnya mulai mundur perlahan. Mengapa? Jawabannya lagi-lagi soal godaan kekuasaan dan posisi.
“Semua orang yang dulu bersama Anies, kini satu per satu meninggalkannya. Tidak kuat dengan godaan uang dan jabatan. Itu fakta yang tak terbantahkan,” lanjut Chaidar.
Kebutuhan Mendesak: Reformasi Politik Total
Jika Indonesia ingin keluar dari jerat krisis kepercayaan terhadap sistem politiknya, maka langkah setengah-setengah harus ditinggalkan. Solusi jangka panjang hanya bisa diwujudkan dengan reformasi menyeluruh:
Revisi menyeluruh UU Pemilu dan UU Parpol
Pembentukan lembaga independen kaderisasi partai
Pembatasan tegas praktik oligarki politik dalam pencalonan pejabat publik
Transparansi dan akuntabilitas penuh dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi dan KPU
Penutup: Demokrasi Butuh Konsistensi, Bukan Akrobat Politik
Kebijakan yang baik lahir dari niat baik dan visi jangka panjang, bukan kepentingan pragmatis sesaat. Demokrasi tidak bisa tumbuh sehat bila elite politik terus mempermainkan sistem sesuai kepentingannya. Saatnya kita membangun sistem yang tidak hanya demokratis di atas kertas, tetapi juga etis dalam praktiknya.
Indonesia layak punya pemilu yang adil, kader politik yang tangguh, dan pemimpin yang berintegritas — bukan sekadar politisi yang lihai memainkan akrobat kekuasaan. (Redaksi SP)