Tembilahan — sidikfokusnews.com – Suasana hangat penuh keakraban kembali tercipta dalam sebuah momentum spesial bertajuk Reuni 1 dan Reuni 2, yang berlangsung di sebuah tempat terbuka yang asri dan penuh nuansa kebersamaan. Di bawah tenda sederhana yang dihiasi lampu gantung, ratusan wajah lama kembali bersua. Mereka datang dari berbagai penjuru, membawa satu semangat: merajut kembali tali persaudaraan yang pernah terjalin kuat di masa lalu.
Dengan latar belakang spanduk besar yang menampilkan foto-foto dokumentasi kegiatan reuni sebelumnya, terpampang jelas sebuah kalimat penuh makna: “Merajut Asa, Melangkah Bersama, Mari Kita Pererat Persahabatan dan Kita Rajut Komunikasi yang Terputus.” Kalimat tersebut seolah menjadi benang merah dari seluruh rangkaian kegiatan reuni yang tidak sekadar ajang temu kangen, melainkan juga momentum membangun kembali jalinan emosional yang mungkin sempat pudar dimakan waktu dan kesibukan.
Kegiatan reuni kali ini bukan hanya bernostalgia tentang masa-masa indah saat duduk di bangku sekolah atau awal masa dewasa. Lebih dari itu, acara ini menjadi ruang berbagi cerita, harapan, dan perjalanan hidup masing-masing yang telah membentuk mereka menjadi pribadi seperti hari ini. Dari suasana penuh canda tawa, pelukan hangat, hingga obrolan ringan yang mengalir alami, semuanya menghadirkan kehangatan yang tak bisa diukur dengan materi.
Para peserta reuni yang hadir dari generasi berbeda menunjukkan semangat kebersamaan yang luar biasa. Ada yang datang bersama pasangan hidup, ada pula yang membawa serta anak-anak mereka sebagai bentuk perkenalan lintas generasi. Tidak sedikit yang menyatakan bahwa reuni ini telah menyentuh sisi emosional mereka, mengingatkan akan pentingnya menjaga silaturahmi di tengah dunia yang kian sibuk dan digital.
Salah seorang panitia pelaksana mengungkapkan bahwa persiapan kegiatan ini sudah dilakukan jauh-jauh hari. “Kami ingin menciptakan bukan hanya sekadar acara, tetapi momen yang membekas dan berkesan bagi setiap yang hadir. Apalagi banyak di antara kita yang sudah jarang bertemu, bahkan ada yang benar-benar terputus komunikasi selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Tak hanya menjadi ajang pertemuan, reuni ini juga membuka wacana untuk membentuk forum komunikasi permanen yang bisa menjembatani komunikasi lintas waktu. Gagasan ini muncul dari semangat kebersamaan yang menggelora selama acara berlangsung. Beberapa peserta mengusulkan pembentukan grup digital, pengadaan agenda reuni rutin, hingga penyusunan data alumni sebagai langkah menjaga kesinambungan silaturahmi.
Sebagaimana disampaikan dalam sambutan oleh salah satu tokoh yang dituakan dalam komunitas tersebut, reuni seperti ini sejatinya adalah bentuk ibadah sosial. “Ketika kita saling merindukan, saling mendoakan, dan akhirnya bisa saling bertemu dalam kebaikan, maka insyaAllah itu bagian dari mempererat ukhuwah yang diridhai Allah,” ujarnya penuh haru.
Dengan suasana penuh semangat, para peserta bersatu dalam foto bersama sebagai simbol bahwa kenangan, meski telah berlalu, tetap hidup dalam hati. Tepuk tangan, senyum bahagia, dan ekspresi rindu yang tertuntaskan menjadi penutup yang sempurna dari pertemuan yang sarat makna ini.
Reuni ini membuktikan bahwa waktu dan jarak bukanlah halangan untuk kembali menyulam kisah lama menjadi jalinan baru yang lebih kuat. Di tengah dunia yang cepat berubah, kegiatan seperti ini menjadi pengingat bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan persahabatan tetap menjadi fondasi penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan berakhirnya kegiatan reuni tersebut, bukan berarti komunikasi ikut berakhir. Sebaliknya, inilah awal dari komitmen bersama untuk tetap saling terhubung, berbagi kabar, dan saling menguatkan dalam perjalanan hidup ke depan.
“Mari kita terus melangkah bersama, dalam asa dan persaudaraan yang tak akan pernah pudar.”.(Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 68