banner 728x250

Gedung 7 Lantai Rp250 M di Dompak Dipersoalkan: Pakar Sebut Menyimpang, Warga Siap Gugat

banner 120x600
banner 468x60

 

Tanjungpinang, sidikfokusnews.com_ Rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) membangun gedung kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setinggi tujuh lantai di Pulau Dompak kembali menuai gelombang kritik. Dianggap tak tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Gubernur Ansar Ahmad–Wagub Nyanyang Haris Pratamura, proyek bernilai Rp250 miliar itu disebut bertentangan dengan prinsip perencanaan daerah yang transparan dan partisipatif.

banner 325x300

Tokoh masyarakat dan pemerhati Kebijakan yang enggan disebutkan namanya—menilai inisiatif besar tersebut “gagal menangkap realitas kebutuhan publik.” Ia mengingatkan bahwa setiap pembangunan di daerah harus menempuh tahapan terstruktur: mulai dari kesesuaian dengan RPJMD, kajian kelayakan teknis–ekonomi–lingkungan (feasibility study, AMDAL), konsistensi program prioritas, pengesahan anggaran DPRD, hingga keputusan final kepala daerah yang berbasis bukti. “Jika satu saja dilangkahi, legitimasi proyek runtuh,” tandasnya.

Berdasarkan penelusuran dokumen kebijakan, revisi RPJMD Kepri terakhir tidak pernah memasukkan proyek gedung tujuh lantai di Dompak. Artinya, pembangunan berpotensi dikategorikan penyimpangan kebijakan—kecuali pemerintah daerah melakukan perubahan RPJMD secara sah melalui sidang paripurna DPRD, disertai konsultasi publik dan pengawalan Kementerian Dalam Negeri.

Sorotan tajam juga datang dari Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) Kepri. Menegaskan pihaknya sudah resmi menyerahkan surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke DPRD Kepri. Mereka menilai proyek “rawan pemborosan, terkesan dipaksakan, dan minim partisipasi warga.” Jika tak ada koreksi, GEBER mengancam menempuh gugatan class action karena menduga adanya potensi kerugian APBD di tengah krisis fiskal pascapandemi.

Dalam forum diskusi akhir pekan ini, sejumlah ekonom daerah memaparkan kondisi keuangan Kepri: pendapatan asli daerah stagnan di kisaran Rp1,4 triliun per tahun, sementara belanja pegawai dan belanja wajib lainnya menyerap lebih dari 60 persen APBD. Dengan ruang fiskal sesempit itu, komitmen multiyears Rp250 miliar dinilai membelokkan prioritas dari layanan dasar—kesehatan dan pendidikan—ke proyek yang “lebih bersifat simbolik.”

Pakar tata kelola publik Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Herlina Ramadhani, menekankan bahwa UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mewajibkan kohesivitas antara RPJMD, Renstra Organisasi Perangkat Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). “Membangun tanpa pijakan dokumen strategis sama saja menihilkan mekanisme check and balance yang sudah diatur undang-undang,” jelasnya.

Di sisi legislatif, beberapa anggota Badan Anggaran DPRD Kepri menyatakan belum pernah menerima penjelasan detail feasibility study maupun analisis manfaat sosial proyek tersebut. Jika nantinya pemerintah mengajukan anggaran, dewan berwenang menolak atau memangkas alokasi apabila tidak relevan dengan kebutuhan mendesak.

Risiko hukum pun mengintip. Pengamat kebijakan publik, Yurisman Tajuddin, mengingatkan bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri 050-3708/2020 menegaskan proyek multiyears harus disertai penjabaran manfaat, timeline rinci, dan jaminan kesesuaian RPJMD. Tanpa itu, Kejaksaan maupun KPK bisa menilai ada dugaan maladministrasi atau pidana korupsi berbasis “perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.”

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kepri belum memberikan klarifikasi resmi terkait kritik tersebut. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sempat berujar singkat kepada wartawan bahwa proyek “masih tahap perencanaan,” namun enggan merinci dokumen pendukung.

Gelombang penolakan diperkirakan terus bergulir. GEBER merencanakan aksi damai pekan depan dan mengajak mahasiswa, serikat pekerja, serta komunitas peduli anggaran bergabung. “Kami tidak anti-pembangunan, tapi pembangunan harus tepat sasaran dan sesuai regulasi. Kalau tidak, rakyat wajib bertanya ke mana uang mereka mengalir,” ujar Riswandi.

Di tengah polemik, geber dengan pesan lugas: “Transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar jargon; keduanya fondasi kepercayaan publik. Jika proyek ini tetap dipaksakan tanpa revisi RPJMD yang sah, kita sedang menyaksikan kegagalan tata kelola—dan sejarah akan mencatatnya.” (arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *