banner 728x250

Sengkarut Pemberitaan Wahyudi: Hutang-Piutang, Kode Etik Pers, dan Jalan Hukum yang Terbuka

banner 120x600
banner 468x60

 

Tarempa, Kepulauan Anambas, sidikfokusnews.com_ Anggota DPRD Kepulauan Anambas, Wahyudi, memprotes maraknya pemberitaan daring yang menyeret urusan pribadinya—terutama perkara hutang-piutang dengan rekan bisnisnya, Rohadi—ke ruang publik. Ia menilai sejumlah artikel “tidak berimbang, tendensius, dan melecehkan privasi keluarga” karena memosisikan persoalan utang sebagai skandal publik yang berkaitan dengan jabatannya sebagai legislator.

banner 325x300

> “Ini murni soal perdata antara dua pihak. Kesepakatan pembelian alat berat sudah dijalankan sesuai jadwal cicilan. Tidak ada hubungannya dengan tugas saya di dewan,” tegas Wahyudi dalam keterangan tertulis, Sabtu malam.

Politikus tersebut juga mengkritik salah satu jurnalis yang, menurutnya, “bertindak bak kuasa hukum lawan,” sehingga rawan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan menimbulkan konflik kepentingan.

Tanggapan balik Rohadi

Rohadi—mitra bisnis yang mengklaim piutangnya belum lunas—membantah tudingan Wahyudi. Ia menegaskan dirinya bukan pengacara, melainkan pemilik sah piutang yang berhak menagih. “Saya hanya memegang surat kuasa khusus untuk penagihan. Persoalan administrasi seharusnya tidak membingungkan seorang anggota DPRD,” ujarnya.

Rohadi menuduh media yang memuat bantahan Wahyudi gagal menjalankan kewajiban konfirmasi. “Hak jawab seharusnya diberikan kepada saya sebelum rilis diterbitkan. Kalau diabaikan, itu pelanggaran SOP jurnalistik demi kejar trafik,” katanya.

Potensi pelanggaran etik media

Pengajar Etika Pers Universitas Batam, Dr. Bagas Marpaung, menilai polemik ini menyentuh dua pasal kunci dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber Dewan Pers: verifikasi informasi berimbang (cover both sides) serta larangan jurnalis merangkap peran yang menimbulkan konflik kepentingan.

“Begitu wartawan menjadi advocate bagi salah satu pihak, independensi pemberitaan hilang. Redaksi wajib menarik atau merevisi artikel, dan memberi ruang hak jawab proporsional,” jelasnya.

Jalur hukum Wahyudi

Menurut pakar hukum media dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Nur Arianto, Wahyudi memiliki beberapa opsi:

Hak Jawab dan Hak Koreksi — Diatur Pasal 5 UU Pers 40/1999; media wajib menyiarkan klarifikasi paling lambat 2 × 24 jam setelah diterima, secara proporsional dan di kanal yang sama. Jika diabaikan, Wahyudi bisa memperkarakan pelanggaran administratif ke Dewan Pers.

Pengaduan ke Dewan Pers — Melalui mekanisme pengawasan etik; keputusan Dewan Pers sering kali menjadi rujukan damai.

Gugatan Perdata Pencemaran Nama Baik — Pasal 1365 KUHPerdata membuka ruang ganti rugi materiil/immateriil, tetapi penggugat harus membuktikan kerugian nyata.

Laporan Dugaan Pencemaran Elektronik — Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 UU ITE. Tren terbaru Mahkamah Agung mensyaratkan delik aduan dan bukti kerugian konkret agar tidak disalahgunakan.

“Biasanya Dewan Pers jadi pintu pertama. Jika terbukti melanggar KEJ, media diwajibkan meralat. Gugatan perdata baru ditempuh bila klarifikasi gagal,” tutur Nur.

Fokus sementara ke penyelesaian bisnis

Dihubungi terpisah, Wahyudi menyebut langkah pertama yang akan ia ambil ialah menyelesaikan cicilan alat berat sesuai perjanjian dan meminta kesepakatan tertulis final kepada Rohadi. “Saya menghargai hubungan bisnis lama. Soal pemberitaan, biarlah Dewan Pers menilai,” ujarnya.

Rohadi menyambut baik itikad tersebut, tetapi bersikeras menuntut jadwal pembayaran lebih pasti. “Kalau pembayaran tuntas, sengketa berhenti. Media pun tak punya cerita,” tandasnya.

Refleksi lebih luas

Kasus ini menyorot tipisnya batas antara perkara pribadi pejabat publik dan kepentingan publik yang sah untuk diketahui. Analis politik Lokal Politik Institute, Rara Meuthia, mengingatkan:

> “Seorang legislator memang figur publik, tetapi tidak setiap pertikaian finansial otomatis menjadi konsumsi publik. Ukurannya: apakah berdampak pada integritas jabatan dan penggunaan uang rakyat.”

Bagi dunia pers, episode ini menjadi pengingat bahwa kecepatan publikasi tidak boleh mengorbankan verifikasi dan keseimbangan. Bagi pejabat publik, transparansi dan penyelesaian tertib bisa mencegah sengketa berkembang liar di ruang digital—sebelum berujung di meja hijau. (Redaksi sp)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *