Dompak_sidikfokusnews.com_Di tengah polemik pembangunan gedung tujuh lantai di kawasan Dompak oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wacana baru mulai mencuat dari ruang-ruang diskusi warga dan komunitas masyarakat sipil: class action. Bukan sekadar bentuk protes biasa, class action adalah instrumen hukum yang memberikan hak kepada sekelompok orang—yang mengalami kerugian serupa akibat kebijakan tertentu—untuk menggugat otoritas publik atas dampak kebijakan tersebut.
Wacana ini muncul bukan tanpa dasar. Dalam diskusi terbuka yang digelar oleh kelompok masyarakat sipil yang akan berkaloborasi dengan Geber, yang menaungi beberapa organisasi. Sejumlah catatan kritis disampaikan. DPRD Kepulauan Riau harus bisa lebih serius menanggapi surat Geber. Minta rencana besar dengan anggaran 250 milyar di tunda terlebih dulu karena mereka menyoroti indikasi pemborosan anggaran daerah, dugaan pelanggaran asas transparansi dan partisipasi, serta keraguan terhadap legitimasi hukum proyek tersebut.
Pembangunan gedung mewah senilai ratusan miliar rupiah itu dipertanyakan urgensinya oleh publik, terutama di tengah krisis yang melanda masyarakat kecil. Nelayan kesulitan melaut karena biaya operasional tinggi. UMKM terseok tanpa dukungan berarti. Anak-anak sekolah masih kekurangan fasilitas, bahkan sebagian masih belajar di ruang kelas darurat. Di sisi lain, pemerintah justru menggelontorkan anggaran besar untuk membangun kenyamanan birokrasi. Bagi banyak kalangan, ini adalah ironi yang menyayat logika keadilan.
Menurut sejumlah ahli hukum tata negara, class action dapat ditempuh jika ada bukti kerugian publik yang cukup, terutama akibat kebijakan yang dinilai melanggar asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Misalnya, jika proyek tersebut tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), atau dilaksanakan tanpa proses konsultasi publik yang memadai, maka rakyat bisa memperkarakan dampaknya ke pengadilan.
Namun, penting dipahami bahwa secara yuridis, class action tidak dapat serta-merta membatalkan proyek yang sedang berjalan. Pengadilan tidak bisa menganulir keputusan eksekutif hanya berdasarkan ketidaksetujuan publik. Tapi gugatan ini dapat menjadi titik tekan yang sangat signifikan, baik secara politik maupun moral.
Dampaknya bisa jauh lebih besar daripada sekadar putusan pengadilan. Class action akan menjadi sinyal bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang berada di titik kritis. Ini bisa mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk tidak lagi bersikap pasif. Sebagai representasi rakyat, DPRD memiliki wewenang untuk meminta peninjauan ulang proyek, menghentikan alokasi anggaran, bahkan memanggil kepala daerah untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan tersebut.
Selain itu, tekanan dari masyarakat melalui jalur hukum dapat menjadi dasar kuat bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit investigatif terhadap proyek tersebut. Jika ditemukan pelanggaran prosedur atau indikasi kerugian negara, maka bukan tidak mungkin proyek dihentikan dan pihak yang bertanggung jawab dikenakan sanksi.
Lebih jauh, class action juga berpotensi membentuk opini publik yang kritis terhadap model pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat. Dalam jangka panjang, ini akan memaksa pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam merancang program dan proyek pembangunan. Tidak cukup hanya menyusun anggaran, mereka harus siap mempertanggungjawabkan setiap rupiah kepada rakyat.
Apalagi dalam konteks reformasi keuangan daerah yang sedang berlangsung, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) mewajibkan pengendalian belanja pegawai maksimal 30% dari total APBD pada tahun 2027. Saat ini, belanja pegawai di Kepri sudah menyentuh angka 34%, dan diproyeksikan akan melonjak hingga 38% di tahun 2025. Dengan adanya proyek multiyears yang memakan anggaran besar, beban fiskal daerah dikhawatirkan akan semakin berat dan tidak seimbang.
Publik tentu berhak bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pembangunan gedung tersebut? Apakah benar rakyat akan merasakan manfaat langsung? Ataukah ini sekadar proyek simbolik demi mempercantik wajah birokrasi, tanpa memperhatikan denyut realitas di lapisan bawah?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti dari gerakan class action. Ia bukan sekadar gugatan legal, tetapi juga gugatan moral terhadap arah pembangunan yang mengabaikan keadilan sosial. Ini adalah seruan bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara, tetapi hidup melalui partisipasi aktif rakyat dalam mengawal kebijakan.
Class action adalah alat rakyat untuk bersuara dalam bahasa hukum. Dan bila suara itu terus didiamkan, sejarah menunjukkan bahwa krisis kepercayaan akan menjelma menjadi krisis legitimasi. Maka sebelum itu terjadi, sudah waktunya semua pihak mendengar suara yang bergema dari bawah—suara yang meminta keadilan, transparansi, dan keberpihakan yang nyata.
Dereksi sp