banner 728x250

Kritik Pedas Terhadap Proyek Gedung 7 Lantai Pemprov Kepri: Suara Rakyat yang Terabaikan

banner 120x600
banner 468x60

 

Tanjungpinang. sidikfokusnews.com_Kritik tajam datang dari aktivis masyarakat sipil terhadap proyek pembangunan gedung 7 lantai Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) yang direncanakan berdiri megah di kawasan pusat pemerintahan Dompak. Sasjoni, salah satu penggagas Gerakan Bersama (GEBER), dengan tegas menyuarakan penolakannya terhadap proyek tersebut yang menurutnya tidak mencerminkan kepekaan pemerintah terhadap kondisi rakyat hari ini.

banner 325x300

Proyek yang kabarnya bernilai ratusan miliar rupiah itu dinilai sebagai simbol kemewahan birokrasi yang tidak tepat waktu dan tidak mendesak. Di tengah situasi ekonomi rakyat yang sedang terpuruk, nelayan yang terjepit karena harga solar dan hasil tangkapan yang minim, pelaku UMKM yang terseok akibat daya beli yang menurun, serta banyak anak sekolah yang masih membutuhkan bantuan dasar pendidikan, pembangunan gedung megah justru menjadi prioritas anggaran. “Di mana hati nurani mereka?” tanya Sasjoni dengan nada kecewa.

Menurut Sasjoni, pembangunan gedung baru yang diklaim untuk mendukung penataan kelembagaan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) seolah menunjukkan bahwa yang ingin ditata oleh pemerintah bukan kesejahteraan rakyat, melainkan kenyamanan kursi-kursi birokrasi. Ia menyebut proyek itu tidak memiliki urgensi, apalagi dibebankan dalam skema multiyears yang menggerogoti ruang fiskal daerah untuk beberapa tahun ke depan.

Lebih lanjut, Sasjoni juga menyinggung potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola fiskal yang sehat, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Di dalam regulasi tersebut, ditegaskan bahwa pada tahun 2027 mendatang, belanja pegawai harus ditekan maksimal hanya 30% dari total APBD. Namun fakta saat ini menunjukkan bahwa belanja pegawai di Kepri sudah mencapai 34%, bahkan diproyeksikan naik menjadi 38% pada 2025. Dengan penambahan cicilan pembangunan gedung baru, kondisi ini menurut Sasjoni justru akan memperparah beban keuangan daerah.

“Ini bukan lagi sekadar salah kebijakan, tapi sudah masuk kategori gali lubang fiskal. Kita harus sadar bahwa pemerintah pusat bisa saja menjatuhkan sanksi jika proporsi belanja tidak sesuai ketentuan. Lalu siapa yang akan menanggung akibatnya? Tentu saja rakyat,” ujarnya.

Sasjoni juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memilih alternatif yang lebih efisien dan hemat biaya, seperti memanfaatkan kembali gedung lama bekas Kantor Bupati Bintan yang terletak di depan Kantor Kejati Kepri. Menurutnya, gedung tersebut masih layak pakai dan memiliki nilai historis serta strategis. Ia menuding bahwa prinsip value for money justru diabaikan dalam proses perencanaan proyek ini. “Kenapa harus membangun baru, dengan biaya besar, kalau bisa pakai yang sudah ada? Ini bukan reformasi birokrasi, tapi romantisme simbolik yang mahal,” tegasnya.

Lebih jauh, GEBER mendesak DPRD Provinsi Kepri agar tidak tinggal diam melihat kondisi ini. Lembaga legislatif sebagai wakil rakyat harus menjalankan fungsi kontrolnya secara terbuka dan bertanggung jawab. Sasjoni meminta agar DPRD segera memanggil seluruh pihak terkait, termasuk Bappeda, Dinas PU, BPKAD, dan Gubernur, untuk menjelaskan dasar hukum, analisis manfaat, serta simulasi dampak fiskal proyek tersebut kepada publik. “Rakyat bukan penonton. Kami ingin tahu siapa yang mengambil keputusan, apa dasar manfaatnya, dan bagaimana dampaknya terhadap layanan dasar dan kesejahteraan,” seru Sasjoni.

Kritik dari GEBER tidak berhenti sampai di sana. Mereka juga menyoroti proyek pembangunan Bekouver Batu 7 di Tanjungpinang yang secara mendadak dibatalkan tanpa penjelasan memadai. Padahal, sebelumnya Walikota Tanjungpinang telah berkoordinasi dengan Pemprov Kepri dan menyampaikan bahwa proyek tersebut sudah mendapat lampu hijau dan direncanakan untuk dibangun pada tahun 2026. Pembatalan ini dianggap mencederai komitmen pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan rakyat kecil.

“Kenapa yang dibutuhkan rakyat dibatalkan, sementara yang justru tidak mendesak dikejar-kejar? Apakah ini bukan bentuk kebijakan yang tidak adil? Harus ada kejelasan, dan rakyat berhak tahu kenapa proyek Bekouver tanpa alasan yang transparan,” kata salah seorang anggota GEBER lainnya.

 

Fenomena ini menunjukkan ketimpangan orientasi pembangunan. Ketika suara-suara dari bawah menginginkan perbaikan jalan, pendidikan yang terjangkau, layanan kesehatan yang merata, dan fasilitas publik yang layak, justru yang dibangun adalah gedung mewah untuk kenyamanan elit birokrasi.

Gerakan Bersama menyatakan bahwa pembangunan yang adil tidak diukur dari tinggi bangunan, melainkan dari seberapa besar manfaatnya menyentuh rakyat kecil. Kritik-kritik seperti ini adalah cermin bahwa masyarakat masih peduli, masih terlibat, dan masih punya harapan agar kebijakan daerah berjalan dalam koridor keadilan sosial dan keseimbangan fiskal.

Kini, publik menanti apakah suara rakyat akan didengar, atau justru tenggelam di balik dinding beton proyek ambisius yang mengabaikan nurani_ Redaksi sp

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *