Anambas. sidikfokusnews.com_Genap berusia 17 tahun. Sebuah usia yang semestinya menjadi tonggak kedewasaan dalam menata masa depan dan menyusun rencana pembangunan yang matang. Namun sayangnya, seperti seorang remaja yang tumbuh dalam tekanan, Kabupaten Kepulauan Anambas justru memikul beban berat: proyek-proyek pembangunan yang tak kunjung rampung, infrastruktur yang terbengkalai, dan regulasi yang membelit seperti simpul mati.
Di tengah ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa tulus dari masyarakat, muncul pula jeritan keprihatinan yang tak bisa dipungkiri: mengapa proyek-proyek di Anambas terus mangkrak? Siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini? Bagaimana akar persoalan ini bisa terus tumbuh dan menghantui tahun demi tahun?
Penyair Gunung Samak yang engan di sebutkan namanya, menyampaikan keresahan yang mewakili banyak suara dari masyarakat. Dalam catatan hatinya, ia menggambarkan ironi besar di balik perayaan ulang tahun Anambas: sebuah kabupaten yang kaya potensi, namun seperti tak pernah benar-benar bangkit dari tidur panjangnya. Proyek-proyek mangkrak bukan sekadar angka di laporan tahunan, tapi luka nyata yang terasa oleh masyarakat di lapangan. Pasar yang tak selesai, dermaga yang terbengkalai, gedung yang berdiri setengah hati—semuanya menjadi simbol dari perencanaan yang lemah dan tata kelola yang buruk.
Masalah utama tak hanya terletak pada kontraktor, tetapi juga pada sistem yang karut-marut. Mulai dari perizinan material lokal seperti pasir, batu, kayu, hingga air—yang notabene berada di dalam wilayah sendiri—ternyata tidak berizin. Ketika material lokal tak bisa digunakan, opsi berikutnya adalah mendatangkan dari luar daerah. Namun, biaya operasional pengangkutan material dari luar bisa mencapai miliaran rupiah. Ini membuat proyek-proyek bernilai kecil tidak bisa berjalan karena anggaran lebih besar habis di ongkos angkut ketimbang pelaksanaan teknis.
Hal lain yang menjadi batu sandungan adalah rumitnya perizinan. Siapa sebenarnya yang paling berwenang? Syahbandar, Dinas Perhubungan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP, atau bahkan Loka PSDKP dan Loka KKP? Ketika regulasi tak jelas, kewenangan saling lempar, dan proses izin saling tumpang tindih, maka yang terjadi adalah kebingungan. Proyek menjadi terhambat, waktu terbuang, anggaran tergerus, dan masyarakat gigit jari.
Presiden Republik Indonesia sendiri pernah menegaskan bahwa urusan yang ribet jangan dibuat susah, dan yang susah harus dipermudah. Namun, sayangnya, pesan itu seperti tak pernah benar-benar sampai ke akar birokrasi di Anambas. Kebijakan pusat yang ingin mempercepat pembangunan justru tertahan di level pelaksana karena tata kelola yang buruk dan minimnya koordinasi antar-instansi.
Belum lagi masalah rekrutmen SDM. Banyak pejabat di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menduduki jabatan penting, namun tak memiliki kompetensi di bidangnya. Gelar akademik bukan jaminan kemampuan manajerial dan teknis. Ketika pengelolaan pembangunan ditangani oleh orang yang tidak paham, maka hasilnya adalah proyek yang setengah jadi, atau bahkan tidak jadi sama sekali.
Dan ini bukan cerita baru. Sejak Anambas berdiri, persoalan-persoalan serupa terus terjadi. Seolah menjadi siklus tahunan yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Euforia mendapatkan dana pusat justru kerap berujung bencana: pembangunan yang tidak melalui kajian mendalam, pelaksanaan yang dipaksakan, dan akhirnya, proyek yang mangkrak.
Solusinya bukan hanya di tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah harus berani melakukan reformasi menyeluruh: memperbaiki manajemen proyek, merombak sistem perizinan yang membebani, menata ulang zonasi konservasi, serta membenahi sistem rekrutmen ASN agar berbasis pada keahlian, bukan koneksi politik. Kebijakan harus dibangun di atas fondasi akal sehat, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
Anambas adalah tanah yang kaya. Potensi lautnya luar biasa, keindahan alamnya memukau, dan masyarakatnya penuh semangat. Tapi semua itu tidak akan berarti apa-apa jika proyek-proyek terus mangkrak, dan roda pembangunan hanya berputar di tempat. Sudah waktunya Anambas bangkit dari belenggu keterbatasan yang diciptakan oleh sistem yang ruwet dan kepentingan yang sempit.
Doa rakyat adalah kekuatan terbesar bagi pemimpin yang bijak. Namun doa saja tak cukup. Anambas butuh tindakan nyata. Butuh pemimpin yang berani memotong simpul birokrasi, menyederhanakan aturan, dan mendengar suara rakyatnya yang sudah terlalu lama dikecewakan.
Selamat ulang tahun ke-17 untuk Anambas. Semoga tahun-tahun mendatang menjadi awal dari perubahan nyata—bukan hanya rangkaian harapan yang terus berulang dalam sunyi.(Yanti/Arf)