sidikfokusnews.com. JAKARTA — Gelombang penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kembali menguat setelah ribuan pelaku UMKM menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak ekonomi yang akan ditimbulkan. Merespons keresahan tersebut, Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra sekaligus anggota Pansus Raperda KTR, Ali Lubis, dengan tegas meminta agar pembahasan dan pengesahan Raperda tersebut ditunda hingga dilakukan kajian menyeluruh yang benar-benar mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat.
Ali Lubis menyampaikan bahwa kebijakan publik tidak boleh disusun secara terburu-buru, apalagi di tengah situasi ekonomi yang masih sulit bagi para pelaku usaha kecil. Banyak pedagang kelontong, warteg, kios sembako, agen rokok, hingga toko kecil di pemukiman yang menyatakan bahwa pembatasan penjualan produk tembakau akan berdampak langsung pada omzet mereka — bahkan berpotensi mematikan usaha yang selama ini menjadi sandaran hidup keluarga.
“Saya menerima langsung keluhan para pelaku UMKM di berbagai wilayah Jakarta. Pemerintah Provinsi dan DPRD harus berhati-hati. Jangan sampai regulasi yang dibuat justru memberi tekanan tambahan kepada rakyat kecil. Karena itu, saya meminta agar pembahasan dan pengesahan Raperda KTR ditunda sementara sampai kajian komprehensif dilakukan,” ujar Ali Lubis.
Menurutnya, pemerintah tidak boleh menempatkan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan UMKM sebagai dua kepentingan yang saling bertentangan. Justru, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mampu mengakomodasi keduanya secara proporsional.
“Kesehatan masyarakat tentu penting, tetapi jangan sampai UMKM—yang jumlahnya puluhan ribu di Jakarta—jadi korban dari kebijakan yang tidak matang. Banyak warga menggantungkan hidup dari usaha kecil. Kita harus menjaga keseimbangan,” tegasnya.
Ali menilai bahwa sebelum Raperda KTR diberlakukan, pemerintah wajib melakukan peta dampak ekonomi yang jelas, termasuk analisis penurunan omzet, skema mitigasi bagi UMKM terdampak, serta mekanisme transisi yang manusiawi. Selain itu, program pendampingan atau kompensasi bagi pedagang kecil yang terdampak juga harus disiapkan secara transparan.
“Pemerintah harus memiliki rencana transisi yang konkret. Mulai dari analisis dampak, tahapan implementasi yang realistis, hingga bentuk dukungan bagi UMKM. Tanpa itu semua, aturan ini akan menimbulkan keresahan luar biasa di masyarakat bawah,” jelas Ali Lubis.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa penyusunan kebijakan strategis seperti Raperda KTR tidak boleh dilakukan secara tertutup atau sepihak. Ia mendesak agar Pemprov DKI dan DPRD membuka ruang dialog yang lebih luas — melibatkan pelaku UMKM, akademisi, ahli kesehatan, serta organisasi masyarakat sipil — sehingga keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah kebijakan, bukan hanya keputusan administratif.
“Saya mengajak Pemprov dan DPRD untuk kembali menghadirkan ruang dialog terbuka. Masyarakat harus dilibatkan. Pedagang kecil harus didengar. Dengan begitu, keputusan yang diambil mencerminkan kebutuhan nyata warga Jakarta.”
Penolakan terhadap Raperda KTR dari kelompok UMKM kini semakin menyatu dan terorganisir. Mereka menilai bahwa tanpa mitigasi dan kajian ekonomi yang kuat, aturan tersebut berpotensi menjadi pukulan telak bagi keberlangsungan usaha kecil.
Dengan pernyataan tegas Ali Lubis ini, tekanan politik dan sosial terhadap agenda pengesahan Raperda KTR diperkirakan akan semakin meningkat. Para pelaku UMKM berharap pemerintah mengambil langkah bijak: menunda, mengkaji ulang, dan menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada kehidupan masyarakat.
Gerakan “Selamatkan UMKM Jakarta” kini tidak lagi sekadar seruan, tetapi menjadi alarm keras untuk para pengambil kebijakan agar tidak mengorbankan sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kota.
[ redaksi ]

















