Batam.sidikfokusnews.com. Majelis Rakyat Kepulauan Riau (MRKR), sebuah lembaga eksekutif adat yang menjunjung tinggi nilai dan marwah budaya Melayu, melayangkan kecaman keras terhadap sikap abai Badan Pengusahaan (BP) Batam dalam kasus pencabutan lahan dan perobohan paksa Hotel Purajaya. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk kezaliman terhadap aset dan martabat putra Melayu yang secara terang-terangan mencederai nilai-nilai adat, sekaligus mempermalukan penghormatan yang baru saja diberikan oleh Lembaga Adat Melayu kepada pimpinan BP Batam.

Panglima Utama MRKR, Megat Rury Afriansyah, menyatakan bahwa sikap kepala BP Batam, Amsakar Achmad, telah mengkhianati amanah adat yang semestinya dijunjung tinggi. Ia mengingatkan bahwa gelar kehormatan adat bukan sekadar simbol seremonial, melainkan tanggung jawab moral dan budaya yang melekat pada diri penerima. “Saya menyayangkan sikap masa bodoh BP Batam atas persoalan pencabutan lahan dan perobohan ilegal terhadap aset ratusan miliar milik putra Melayu Kepri. Padahal beliau baru saja menerima gelar adat dari LAM,” ungkap Rury.
Pernyataan tersebut tidak hanya bernada kecewa, tapi juga mengindikasikan adanya ancaman hilangnya kepercayaan terhadap tokoh yang sebelumnya diharapkan menjadi pelindung masyarakat adat. Apalagi, penabalan gelar kehormatan sebagai Dato’ Setia Amanah kepada Amsakar Achmad dan Dato’ Setia Bijaksana kepada Li Claudia Chandra oleh LAM Kota Batam pada 15 Juni 2025 lalu dihadiri ratusan tokoh adat dan masyarakat Batam. Namun, hanya berselang beberapa hari setelahnya, peristiwa perobohan Hotel Purajaya terjadi tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa komunikasi terhadap pemilik sah bangunan tersebut.
Hotel Purajaya, yang dulunya berdiri megah di kawasan Nongsa, kini hanya menyisakan puing-puing dan luka kolektif bagi masyarakat adat yang merasa dizalimi di tanah sendiri. Lebih ironis lagi, Megat Rury tidak hanya berbicara sebagai Panglima MRKR, tetapi juga sebagai Direktur PT Dani Tasha Lestari—pemilik sah dari aset yang dihancurkan secara sepihak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa langkah MRKR murni berdasarkan kajian mendalam lembaga, bukan kepentingan pribadi. “Ini bukan soal saya, ini soal martabat Melayu yang diinjak-injak,” tegasnya.
Luka itu semakin dalam ketika pihak BP Batam juga menunjukkan sikap tertutup terhadap kritik dan kontrol publik. Hingga berita ini diterbitkan, permintaan evaluasi yang disampaikan langsung oleh Wakil Ketua DPR RI, Dr. Ir. H. Sufmi Dasco Ahmad, melalui surat resmi yang dikirim pada 27 Mei 2025, belum mendapatkan tanggapan. Padahal, amanah dari pimpinan lembaga tinggi negara tersebut semestinya menjadi peringatan serius bagi kepala daerah maupun pejabat strategis nasional.
Surat konfirmasi yang ditujukan kepada Kepala BP Batam dan sejumlah pejabat terkait tidak direspons. Janji staf BP Batam bahwa akan dijawab dalam 10 hari kerja terbukti hanyalah pemanis basa-basi birokrasi. Ketika batas waktu telah lewat dan wartawan kembali mempertanyakan kelanjutan prosesnya, jawaban normatif kembali diberikan: surat sudah dikirim ke Bagian Hukum. Tidak ada pesan, tidak ada pendelegasian, dan tidak ada tanggung jawab yang diambil. Yang ada hanyalah keheningan yang memekakkan—sebuah pengabaian terang-terangan terhadap lembaga legislatif tertinggi negeri ini.
Kegagalan Kepala BP Batam dalam menanggapi amanah DPR RI dan tangisan adat Melayu menunjukkan bahwa jabatan dan penghormatan tidak berjalan seiring dengan integritas. Perilaku ini tidak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat adat terhadap institusi negara, tetapi juga merendahkan nilai-nilai luhur Melayu yang selama ini menjunjung tinggi keadilan dan keberimbangan.
Kini, reruntuhan Hotel Purajaya menjadi simbol dari dua kehancuran sekaligus: kehancuran fisik atas properti sah milik warga Melayu, dan kehancuran moral dari institusi yang semestinya menjadi pelayan publik. Ketika pemimpin adat ditelantarkan, ketika wakil rakyat diabaikan, dan ketika suara masyarakat diredam, maka yang tersisa hanyalah kehampaan dari sistem yang pincang dan kehilangan ruh.
Majelis Rakyat Kepulauan Riau menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Tindakan nyata dengan nuansa adat dan budaya akan diambil sebagai bentuk perlawanan bermartabat. Sebab bagi MRKR, ini bukan lagi sekadar urusan lahan, tapi soal harga diri dan keberlangsungan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur Melayu sejak berabad silam. Redaksi
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 75