banner 728x250
Berita  

Belajar dari Malaysia: Ancaman Geostrategis Cina, Kepulauan Riau, dan Tantangan Kedaulatan Ekonomi Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Ir. M. Nazar Machmud

Jakarta — Menurut pengamat kebijakan publik dan energi nasional Ir. M. Nazar Machmud, posisi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tidak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga memiliki nilai geostrategis dan militer yang krusial dalam percaturan global. Wilayah ini, yang terletak di jantung jalur pelayaran internasional antara Samudra Hindia dan Pasifik, telah menjadi panggung perebutan kepentingan sejak masa kolonial hingga era modern.

banner 325x300

Pada masa Perang Dunia II, Jepang menjadikan Kepulauan Riau sebagai pintu masuk strategis menuju Asia Tenggara. “Tanggal 15 Desember 1941, Jepang masuk melalui Anambas setelah sehari sebelumnya membombardir dua pertiga wilayah Tarempa,” ujar Nazar. Selanjutnya, pada 2 Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Tanjungpinang, dan hanya berselang sebulan—10 Februari 1942—seluruh Tanah Semenanjung termasuk Singapura telah dikuasai. Dari Singapura, Jepang mengatur sistem administrasi dan operasi militernya di kawasan Asia Tenggara.

Kini, delapan dekade kemudian, medan pertempuran tidak lagi dalam bentuk serangan bersenjata, tetapi pertempuran ekonomi global yang berporos pada ekspansi strategis kekuatan besar, terutama Tiongkok, melalui kebijakan One Belt One Road Initiative (OBOR). Inisiatif lintas benua itu menjadikan Kepulauan Riau—khususnya Batam, Bintan, dan Natuna—sebagai bagian penting dari jalur maritim internasional yang menghubungkan Asia Timur dengan Timur Tengah dan Afrika.

Namun, di balik kerja sama ekonomi yang tampak menguntungkan, Nazar Machmud menilai terdapat risiko laten yang bersifat geopolitik dan militer. Ia memperingatkan bahwa “bukan mustahil, pertempuran ekonomi global akan diikuti oleh dukungan kekuatan intelijen dan militer.” Menurutnya, Cina telah lama mengincar Natuna sebagai pangkalan strategis, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan di Laut Cina Selatan.

Lebih jauh, Nazar menilai rencana pengembangan Rempang Eco City di bawah otoritas BP Batam perlu dikaji secara serius. “Mengacu pada pengalaman Perang Dunia II, bukan mustahil Cina kelak membangun Rempang Eco City sebagai pusat administrasi ekonomi dan militer regional, menggantikan posisi strategis Singapura yang dulu menjadi basis Jepang,” ujarnya dengan nada waspada.

Pandangan Nazar itu sejalan dengan kekhawatiran yang pernah disampaikan Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI. Mahfud menilai penting bagi publik untuk mengetahui isi perjanjian antara pemerintahan Jokowi dan Tiongkok terkait utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Ia mengingatkan kemungkinan skenario terburuk apabila Indonesia gagal bayar: “Kalau gagal bayar, jangan-jangan Cina meminta kompensasi strategis seperti Natuna.”

Sikap Presiden Prabowo Subianto yang memilih mengambil alih tanggung jawab pembayaran utang proyek kereta cepat menjadi sorotan tersendiri. Di satu sisi, langkah itu dinilai realistis untuk menjaga kredibilitas keuangan negara di mata internasional. Namun di sisi lain, langkah tersebut memunculkan kekhawatiran tentang ketergantungan diplomatik terhadap Tiongkok, terutama di tengah konstelasi politik ekonomi yang masih dipengaruhi oleh oligarki kuat.

Dalam konteks inilah, banyak kalangan mengingatkan pentingnya belajar dari pengalaman Malaysia di bawah kepemimpinan Mahathir Mohamad. Pada 2018, Mahathir menunjukkan bagaimana seorang pemimpin berintegritas dapat menata ulang hubungan dengan Tiongkok tanpa kehilangan harga diri nasional.

Mahathir menemukan bahwa proyek Forest City di Johor Bahru, yang dibiayai investor Tiongkok, telah menelan biaya pembayaran 75 persen, sementara progres fisik di lapangan baru 13 persen. Selisih 62 persen mengindikasikan mark-up besar-besaran yang terkait dengan korupsi pemerintahan Najib Razak. Alih-alih tunduk pada tekanan ekonomi Beijing, Mahathir membekukan proyek tersebut dan melakukan audit menyeluruh. Ia menegaskan, “Malaysia bukan menolak investasi asing, tetapi menolak perampokan yang dibungkus kerja sama ekonomi.”

Bermodalkan data audit dan keputusan pengadilan terhadap Najib Razak, Mahathir menegosiasikan ulang kontrak dengan Tiongkok. Dengan legitimasi hukum dan moral yang kuat, ia berdiri sejajar di hadapan Beijing—dan Tiongkok tidak bisa berdebat. Seperti dikatakan Nazar Machmud, “Negosiasi diplomatik tingkat tinggi hanya bisa berhasil jika negara memiliki legitimasi moral di dalam negeri. Mahathir datang bukan dengan retorika, tapi dengan bukti.”

Mahathir, yang memimpin Malaysia selama 22 tahun (1981–2003) dan kembali berkuasa pada 2018, membuktikan bahwa kredibilitas dan integritas pribadi jauh lebih berharga daripada kekuatan ekonomi sesaat. “Berwibawa di mata Tiongkok” bukan karena kekuasaan atau usia, tetapi karena konsistensinya dalam menjaga martabat negara.

Sebaliknya, di Indonesia, Prabowo menghadapi dilema klasik: bagaimana menegakkan kedaulatan ekonomi ketika sebagian struktur kekuasaan masih dikuasai oleh oligarki bisnis dan politik yang kuat. Nazar menilai, “Jika Indonesia ingin meniru Mahathir, syarat utamanya bukan sekadar keberanian, tetapi keberanian yang dilandasi legitimasi moral dan kebersihan politik. Tanpa itu, sulit bagi seorang pemimpin untuk menegosiasikan posisi yang sejajar dengan kekuatan besar seperti Cina.”

Pelajaran dari Mahathir sederhana namun mendalam: bersihkan rumah sendiri sebelum berbicara tentang kedaulatan. Malaysia mampu menegosiasi ulang utang dan proyek Tiongkok karena memiliki dasar hukum, moral, dan politik yang kokoh. Jika Indonesia ingin membangun hubungan yang setara, bukan bergantung, maka reformasi tata kelola dan moralitas kekuasaan harus menjadi fondasi utama.

Mahathir pernah menegaskan dalam pidatonya, “We are friends with all, but we will not be anyone’s pawn.” (Kami bersahabat dengan semua, tapi tidak akan menjadi bidak siapa pun.) Kalimat itu kini menggema kembali di tengah dinamika baru Asia Tenggara — saat Indonesia berada di persimpangan antara investasi asing dan kedaulatan nasional.

Pertanyaannya kini: apakah Jakarta siap menempuh jalan Mahathir—berani, bersih, dan berdaulat—atau justru akan terjebak dalam pusaran utang dan kompromi geopolitik yang mengekang masa depan bangsa?

Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *