banner 728x250

Polemik FPK Kepri: Seruan Pembenahan Tata Kelola dan Penegakan Etika Organisasi, Pengamat Ingatkan Bahaya Dominasi dan Nepotisme Struktural

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.— Polemik yang melanda Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Kepulauan Riau terus bergulir dan memantik perhatian berbagai kalangan. Setelah muncul pernyataan kritis dari sejumlah tokoh masyarakat, kini giliran Ignatius Toka Solly, S.H,. dan Meckwanizar, yang menyerukan pembenahan tata kelola internal organisasi agar FPK tidak terjebak menjadi milik kelompok tertentu.

Dalam sebuah diskusi internal yang berkembang menjadi forum refleksi terbuka, Ignatius menegaskan bahwa FPK tidak boleh dimonopoli atau diarahkan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Menurutnya, organisasi yang seharusnya menjadi wadah kebersamaan lintas suku, budaya, dan kepercayaan itu justru tengah diuji oleh krisis kepercayaan akibat lemahnya penerapan prinsip manajemen modern dan transparansi.

banner 325x300

“FPK bukan milik orang tertentu. Visi dan misi organisasi harus menjadi roh dalam setiap program dan rencana kerja, bukan sekadar jargon yang dipajang dalam pidato seremonial,” ujar Ignatius.

Ia menekankan bahwa roh organisasi hanya dapat hidup jika visi dan misi diterjemahkan ke dalam program yang konkret, konsolidasi internal diperkuat, dan sistem manajemen organisasi dijalankan secara profesional. “Restrukturisasi, koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas bukan pilihan, tapi keharusan,” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan Meckwanizar, yang menyoroti bahwa dinamika di tubuh FPK Kepri tampak mencerminkan persoalan klasik: intervensi, penunjukan sepihak, dan lemahnya pemahaman terhadap fungsi birokrasi. Ia memperingatkan agar Kesbangpol Provinsi Kepri sebagai lembaga pembina tidak membiarkan proses organisasi dipengaruhi oleh kepentingan personal.

“Jangan asal tunjuk, asal copot. Jangan bertindak sesuka hati hanya karena kedekatan atau pesanan. Kesbangpol harus teliti dan taat pada ketentuan yang berlaku karena leading sektornya ada di pemerintah,” kata Meckwanizar dengan nada tegas.

Ia menambahkan, setiap kebijakan publik dan keputusan kelembagaan harus memiliki dasar hukum dan mekanisme yang jelas. “Kita ini bukan sedang membangun dinasti, tapi membangun tata kelola organisasi yang sehat dan kredibel. Kalau sistem diabaikan, maka yang tumbuh bukan kebersamaan, tapi kekecewaan,” ujarnya.

Pengamat sosial dan kemasyarakatan Dr. Ahmad Husein, menilai pernyataan dua tokoh itu menggambarkan keresahan yang lebih luas di kalangan masyarakat sipil. Menurutnya, FPK sebagai lembaga yang dibentuk untuk memperkuat semangat kebangsaan justru terancam kehilangan jati diri jika dikelola tanpa prinsip good governance.

“Ketika organisasi seperti FPK mulai dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu, maka maknanya sebagai forum pembauran menjadi tumpul. Ini bukan lagi wadah rekonsiliasi sosial, tapi ruang fragmentasi baru,” kata Husein.

Ia menjelaskan bahwa tata kelola organisasi publik semestinya dibangun atas prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan keterbukaan. Jika proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup dan berbasis loyalitas pribadi, maka yang muncul adalah konflik laten dan perpecahan internal.

“Organisasi publik seperti FPK harus menjadi agen pembaharuan dan kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Tapi bagaimana bisa menjadi mitra strategis pemerintah jika internalnya sendiri tidak tertib, tidak profesional, dan tidak demokratis?” ujarnya.

Husein juga menyoroti perlunya Kesbangpol menjalankan peran pengawasan dan pembinaan secara objektif. Menurutnya, pemerintah daerah tidak boleh membiarkan lembaga yang berada di bawah naungan mereka dikelola tanpa sistem pertanggungjawaban publik.

“Kesbangpol harus bersikap seperti wasit, bukan pemain. Jangan biarkan proses administratif FPK dikotori oleh kepentingan sesaat. Sekali lembaga ini kehilangan legitimasi moral, maka sulit untuk mengembalikannya,” tambahnya.

Pernyataan Ignatius dan Meckwanizar dinilai sebagai bentuk peringatan moral agar FPK Kepri kembali ke rel awalnya — yaitu memperkuat persatuan dalam keberagaman. Para pengamat menilai bahwa momentum ini penting untuk melakukan evaluasi total terhadap struktur, mekanisme kerja, dan arah kebijakan lembaga.

FPK, dalam konteks ideal, seharusnya menjadi wadah dialog sosial, bukan arena perebutan pengaruh. Ia adalah ruang kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha untuk membangun harmoni sosial dan memperkuat kesadaran kebangsaan di tengah pluralitas masyarakat Kepri.

Jika seruan pembenahan ini tidak direspons secara serius, maka yang akan lahir bukan lagi forum pembauran kebangsaan, tetapi forum pembelahan kepentingan — sebuah ironi yang bertentangan dengan semangat Pancasila dan amanat kebhinekaan itu sendiri.

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *