sidikfokusnews.com. Batam — Isu seputar munculnya gelar “Grand Sultan” di Kepulauan Riau mengguncang ruang publik dan memantik perdebatan hangat di kalangan masyarakat Melayu. Sebagian pihak menilai gelar itu berpotensi menimbulkan kegaduhan sosial karena dianggap tidak memiliki dasar adat yang sah, sementara sebagian lainnya justru menilai hal tersebut sebagai langkah untuk mengembalikan marwah serta hak masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan.
Sejumlah tokoh masyarakat menyatakan kesiapannya melakukan aksi simbolik besar-besaran jika kabar itu benar.
“Apabila benar ada yang mengangkat diri atau diangkat menjadi Grand Sultan di Kepri, kami siap mencetak dan memasang satu juta spanduk di seluruh Kepulauan Riau sebagai bentuk protes,” ujar salah satu tokoh masyarakat di Batam.
Namun di sisi lain, dukungan juga mengalir dari kalangan adat. Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Batam, Megat Rury Afriansyah, menilai lembaga adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL) memiliki dasar historis kuat dalam memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat.
“Saya mendukung upaya LAKRL memperjuangkan hak masyarakat adat di Kepulauan Riau yang dilandasi oleh originalitas surat Grand Sultan. Keabsahan surat itu dapat dipercaya, dan saat ini pihak LAKRL tengah menunggu pengakuan dari Peace Palace (Vredespaleis) di Den Haag, Belanda,” ujar Rury.
Menurutnya, posisi masyarakat adat di Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) saat ini berada pada titik kritis. “Hampir seluruh daratan Barelang telah dikuasai pemodal besar yang sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Karena itu, eksistensi Grand Sultan yang diperjuangkan LAKRL sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat Barelang,” tambahnya.
Pemangku Adat LAKRL, Tengku Fuad, menegaskan bahwa lembaganya tidak bermaksud menguasai tanah secara fisik, melainkan menegaskan fungsi sosial dan budaya tanah bagi masyarakat adat.
“Kami bukan ingin menguasai seluruh daratan di Barelang atau Kepri, tapi ingin mengembalikan fungsi tanah untuk masyarakat adat dan menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat tradisional Kepri adalah nelayan dan petani, dan hak itu harus dihormati,” katanya.
LAKRL diketahui telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Batam dan Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau, menuntut agar Badan Pengusahaan (BP) Batam mengembalikan hak ulayat masyarakat adat. Fuad menyebut pihaknya sudah menawarkan beberapa opsi kompromi kepada BP Batam, namun belum ada tanggapan berarti.
Secara paralel, LAKRL yang berpusat di Pulau Penyengat juga sedang menempuh jalur internasional untuk mendapatkan pengakuan atas status historis Kesultanan Riau Lingga. Permohonan tersebut diajukan ke Peace Palace di Den Haag, dengan tujuan memperoleh legitimasi moral dan historis dunia terhadap peran Riau–Lingga sebagai jantung peradaban Melayu sekaligus asal mula Bahasa Indonesia.
“Langkah ini bukan bentuk perlawanan politik, melainkan seruan damai untuk keadilan sejarah dan kultural,” ujar Rury. Ia menegaskan, perjuangan ini perlu dukungan semua komponen Melayu, baik dari Lembaga Adat Melayu (LAM) maupun organisasi masyarakat adat di seluruh Kepri.
Dalam struktur LAKRL terdapat Majelis Pemangku Adat, Dewan Pendiri, Dewan Zuriat Kesultanan, dan Dewan Pembina, sedangkan di tubuh LAM Kepri terdapat Dato’ Seri Setia Utama H. Abdul Razak, AB sebagai Ketua Umum dan Dato’ Wira Setia Laksana H. Raja Alhafiz, S.E. sebagai Sekretaris Umum.
Keduanya menegaskan bahwa perjuangan ini bukan untuk kepentingan segelintir pihak, melainkan untuk menjaga martabat sejarah, keseimbangan adat, dan keadilan sosial bagi masyarakat Melayu di Kepulauan Riau.
Kini publik menunggu, apakah isu “Grand Sultan” ini akan berujung pada perpecahan atau justru menjadi momentum kebangkitan kesadaran adat dan sejarah di Bumi Segantang Lada — tanah yang pernah menjadi pusat kejayaan Kesultanan Riau Lingga dan simbol identitas ke-Melayu-an sejati.
arf-6

















