banner 728x250

Kisruh FPK Kepri: Lembaga Pembauran yang Terseret Konflik, Maladministrasi, dan Krisis Integritas

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang – Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Kepulauan Riau kini tengah diterpa badai kontroversi yang mengancam kredibilitasnya sebagai lembaga perekat harmoni sosial lintas etnis. Di tengah idealisme pembauran yang diemban, lembaga ini justru diguncang konflik internal, dugaan maladministrasi, serta polemik mengenai hak keuangan pengurusnya.

banner 325x300

Sejumlah mantan pengurus FPK, di antaranya Asmali, Nurizal, dan Mekhwanizar, mengaku belum menerima hak bulanan mereka untuk periode Januari hingga Maret 2025, meskipun masih aktif mengikuti kegiatan resmi lembaga tersebut.

“Kami tidak pernah mendapat surat pemberhentian atau penjelasan resmi. Tiba-tiba saja nama kami hilang dari daftar pengurus dan hak kami tidak cair,” ungkap salah satu mantan anggota dengan nada kecewa.

Pengakuan tersebut membantah klaim pihak internal FPK yang menyebut seluruh hak pengurus lama telah diselesaikan. Berdasarkan penelusuran lapangan, hanya sebagian kecil pengurus yang menerima haknya, termasuk David — salah satu mantan pejabat struktural FPK. “Benar, hanya saya yang sempat menerima hak itu. Yang diberikan selama 6 bulan, Teman-teman lain belum,” ujarnya saat ditemui di salah satu kedai kopi di Jalan Pemuda, Tanjungpinang.

Saat dikonfirmasi, Sekretaris FPK Kepri, Zulhaidir, enggan memberikan keterangan rinci. “Maaf Bang, konfirmasi ke Ketua FPK aja Pak. Terima kasih,” tulisnya singkat melalui pesan WhatsApp. Namun hingga berita ini diturunkan, Ketua FPK Kepri belum juga memberikan klarifikasi resmi.

Dari pihak pemerintah, Kesbangpol Provinsi Kepri mengaku belum menerima laporan resmi terkait keluhan tersebut. Seorang pejabat di lembaga itu menegaskan bahwa setiap kegiatan dan penggunaan dana FPK wajib dilaporkan secara berkala karena bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Kalau ada keluhan soal hak yang belum dibayar, tentu perlu diverifikasi melalui laporan keuangan. Kami terbuka terhadap pengaduan resmi agar bisa ditindaklanjuti,” ujarnya. Pejabat itu menambahkan, bila ditemukan pelanggaran prinsip akuntabilitas, FPK Kepri bisa saja dievaluasi secara menyeluruh, bahkan berpotensi dibekukan sementara waktu.

Anggota aktif FPK dengan SK 222/2025, Ignatius Toka Solly, S.H., menilai akar permasalahan FPK Kepri terletak pada lemahnya tata kelola dan minimnya pengawasan dari instansi pembina. “Yang harus diperbaiki adalah manajemen internal. Kesbangpol jangan hanya menerima laporan di atas kertas, tapi harus memverifikasi data dan penggunaan anggaran secara teliti. FPK harus kembali ke jati dirinya, bukan alat kepentingan politik,” tegasnya.

Menurut Ignatius, fenomena ini bukan hal baru. Banyak lembaga semi-pemerintah kehilangan arah karena terlalu fokus pada struktur dan anggaran, bukan pada misi ideologisnya. “Begitu lembaga seperti FPK lebih banyak mengurusi honor dan jabatan, maka semangat kebangsaan sudah tergantikan oleh kepentingan pribadi,” katanya menambahkan.

Sejumlah pengamat sosial juga menilai kondisi FPK Kepri kini berada di fase kritis. Alih-alih menjadi wadah integrasi antar-etnis, lembaga itu justru terjebak dalam konflik internal dan sengketa administratif.

“FPK bukan lembaga birokratis, tapi simbol integrasi sosial. Kalau yang muncul justru konflik, pemberhentian sepihak, dan polemik dana, berarti lembaga ini kehilangan fungsi ideologisnya,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Tanjungpinang.

Ia menyerukan agar dilakukan audit menyeluruh terhadap struktur organisasi dan pengelolaan keuangan FPK Kepri, karena lembaga yang menerima dana publik harus mempertanggungjawabkan setiap rupiah secara terbuka. “Jika tidak diaudit, publik akan menganggap FPK hanya formalitas—hidup dari APBD tanpa kontribusi nyata bagi pembauran masyarakat,” katanya.

Desakan audit dan evaluasi kini semakin menguat. Beberapa tokoh masyarakat menilai pemerintah daerah tidak bisa lagi menutup mata terhadap berbagai indikasi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang di tubuh FPK Kepri. “FPK seharusnya jadi perekat sosial, bukan sumber konflik dan ketidakjelasan. Kalau dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga pembinaan sosial akan semakin luntur,” ujar, tokoh masyarakat Tanjungpinang.

Kisruh ini menjadi refleksi dari krisis yang lebih dalam — hilangnya arah lembaga yang seharusnya menjaga nilai persatuan di tengah keberagaman. Forum Pembauran Kebangsaan dibentuk untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan semangat kebangsaan lintas etnis. Namun tanpa transparansi, akuntabilitas, dan etika kelembagaan, misi luhur itu mudah tergelincir menjadi formalitas belaka.

Kini, sorotan publik tertuju pada Kesbangpol Provinsi Kepri: apakah akan menempuh langkah audit dan penertiban, atau justru membiarkan FPK terombang-ambing dalam konflik internalnya. Satu hal pasti, jika reformasi total tidak segera dilakukan, FPK Kepri akan kehilangan bukan hanya kepercayaan publik, tetapi juga makna dari kata “pembauran” itu sendiri.”arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *