Oleh : Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MBA, MM, IPU
Guru Besar/Wakil Rektor I UNIBA, Waketum MUI Kepri, Ketua FKUB Kota Batam
Fenomena korupsi di Indonesia tampaknya belum juga surut dan terus menjadi luka sosial yang mendalam. Ironisnya, banyak pelaku korupsi justru berasal dari kalangan terdidik dan bahkan memahami ajaran agama. Dalam konteks inilah, Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono menyoroti persoalan ini bukan hanya dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi spiritual dan moral, yang menurutnya menjadi akar dari kegagalan membangun bangsa yang berakhlak mulia.
Dalam tulisannya, beliau menegaskan bahwa dakwah Islam seharusnya tidak berhenti pada ritual dan formalitas belaka. Islam sejati harus hadir dalam perilaku sosial, ekonomi, dan politik yang mencerminkan nilai-nilai luhur. Ketika ajaran Islam hanya berhenti di bibir tanpa perwujudan dalam tindakan nyata, maka akar dan batang keimanan tidak lagi menumbuhkan buah yang baik. “Apabila buah yang dihasilkan buruk, maka gizi dari akar dan batangnya tidak terserap sempurna,” tulisnya, mengibaratkan akhlak sebagai buah dari pohon kehidupan.
Prof. Chablullah mengutip surah Ibrahim ayat 24–25 sebagai pijakan filosofis:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit. Ia menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan izin Tuhannya.”
Baginya, ayat ini mengandung makna mendalam bahwa Islam sejati adalah pohon kehidupan yang menumbuhkan kebaikan dari akar hingga buahnya, dari aqidah hingga muamalah.
Sayangnya, fenomena dakwah yang terfragmentasi menjadi masalah tersendiri. Banyak umat rajin melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, dan haji, namun lalai ketika berhadapan dengan jabatan, kekuasaan, dan uang. Nilai moral runtuh ketika ibadah kehilangan makna sosialnya. “Dakwah yang berhenti pada aspek ritual menyebabkan Islam kehilangan daya transformasinya di ranah publik,” tulisnya lagi.
Lebih jauh, Prof. Chablullah menawarkan rumus sederhana untuk memahami akar korupsi, yaitu K = N + S + L (Korupsi = Niat + Sistem + Lingkungan).
Korupsi, katanya, berawal dari niat yang salah berasal dari dalam diri dan lemahnya kekuatan spiritual. Sistem yang longgar tanpa kontrol tegas turut memperburuk keadaan, diperparah oleh lingkungan budaya dan politik yang permisif terhadap penyimpangan.
Ia menegaskan, pemerintah sering kali hanya fokus pada aspek sistem dan hukum, sementara aspek spiritual dan budaya diabaikan. Padahal, pencegahan korupsi yang efektif membutuhkan tiga pilar sekaligus: penguatan spiritual, reformasi sistem, dan perubahan budaya sosial.
Dalam bagian lain, Prof. Chablullah mengingatkan tentang pentingnya kesederhanaan hidup sebagaimana diajarkan Islam. Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” Ia menilai, ketika nilai kesederhanaan hilang, masyarakat terjebak dalam gaya hidup hedonistik yang akhirnya menyeret pejabat publik untuk memperkaya diri, bukan mengabdi melayani rakyat.
Di akhir tulisannya, Prof. Chablullah menegaskan bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga krisis akhlak dan spiritualitas sosial. Ia menyerukan agar ajaran Islam yang hakiki tidak berhenti di mimbar, tetapi menembus ruang pemerintahan, ekonomi, dan politik. Hanya dengan menanamkan “pohon Islam” yang akarnya iman dan cabangnya amal, bangsa ini akan kembali berbuah akhlak mulia lahir pemimpin yang beriman, beribadah dengan benar, dan berakhlak mulia dalam mengelola amanah publik.
Tulisan Prof. Chablullah Wibisono ini menjadi pengingat keras bagi masyarakat dan pemimpin bangsa: bahwa korupsi tidak akan pernah hilang tanpa revolusi akhlak. Bukan sekadar reformasi sistem, tetapi pembenahan hati. Sebab akar dari segala kebobrokan bukan hanya pada kebijakan, melainkan pada rusaknya nurani manusia yang kehilangan cahaya keimanan.(Redaksi).

















