banner 728x250
Batam  

Terbukti Kepala BP Batam Menipu Rakyat di Tiga Kampung Tua Kantor Hukum Moesa & Rekan Berharap Kebohongan Segera Diakhiri

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Batam.-Dinilai merampas hak rakyat, Kantor Hukum Moesa & Rekan meminta Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam berhenti menipu dan segera menunaikan tugasnya menerbitkan Faktur Uang Wajib Tahunan (UWT) Rp0 terhadap warga 3 Kampung Tua. Tenaga Ahli (TA) BP Batam menyatakan keberatan atas label penipuan kepada pimpinannya, namun fakta adanya penipuan badan itu tidak dapat dibantah.

banner 325x300

”Kami (Kantor Hukum Moesa & Rekan) baru saja melakukan pembicaraan dengan seorang Tenaga Ahli BP Batam, yang juga bertugas sebagai advokat BP Batam kemarin. Tak menyangka TA BP Batam juga tidak dapat menawarkan solusi serta tidak punya sikap dalam ingkarnya BP Batam melaksanakan Perka yang dibuatnya sendiri. Itulah kekecewaan kami sebagai kuasa hukum warga di 3 Kampung Tua, dan masalah tersebut merupakan penipuan besar bagi warga,” kata Muhammad Sayuti dari Kantor Moesa & Rekan, kepada media, di Batam, 4/11/2025.

Surat Keputusan Kepala BP Batam nomor 263 tahun 2025, menurut TA BP Batam, diakui sebuah kebijakan yang harus dilaksanakan. Untuk memastikan sebuah kebijakan BP Batam terhadap SK nomor 263 tahun 2025, TA BP Batam memberikan informasi sesungguhnya, tudingan Kepala BP Batam tentang adanya penipuan terhadap warga di 3 Kampung Tua, telah jelas dan tidak ada dusta.

”Kami bersyukur ternyata hasil audiensi yang terjadi, membuat Tenaga Ahli BP Batam bersikap ambigu, namun kepastian untuk melaksanakan regulasi yang telah dibuat oleh Kepala BP Batam masih ditunggu. Belum ada kejelasan sebelum terbit Faktur UWT Rp0 yang dijanjikan oleh BP Batam. Sekali lagi kami harapkan jangan ada dusta,” ujar Muhammad Sayuti.

Tiga Kampung Tua yang diberi UWT Rp0 itu sesuai SK nomor 263 tahun 2023 adalah Kampung Tua Tanjung Sengkuang, Kampung Tua Batu Merah, dan Kampung Tua Air Raja. Warga yang memiliki tanah dan mendiami kampung tua itu menuntut haknya, sesuai SK nomor 263 tahun 2023, diperkuat oleh Perka nomor 6 tahun 2025, yang ditandatanani oleh Amsakar Achmad sendiri. Dalam kedua regulasi itu, seharusnya BP Batam menerbitkan Faktur UWT Rp0 di Kampung Tua itu.

Merespon tuntutan ketiga warga Kampung Tua itu, sejumlah pihak meminta warga menuntut haknya dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi terhadap Kepala BP Batam yang dinilai ingkar dan menipu warganya. ”Seharusnya Wali Kota Batam mementingkan kepentingan kesejahteraan sosial warganya, bukan malah mementingkan kepentingan BP Batam semata-mata, karena tugas utama Wali Kota Batam adalah melindungi warganya, bukan mengutamakan kepentingan bisnis di BP Batam,” ujar seorang warga di Batu Merah.

Kuasa Hukum Moes & Rekan mengakui pihaknya didesak untuk melakukan unjuk rasa, namun opsi unjuk rasa, menurut Muhammad Sayuti, merupakan pilihan terakhir. ”Kita tunggu dulu respon Kepala BP Batam, apakah masih memiliki rasa keberpihakan pada rakyatnya, atau mau mengingkari tanggungjawabnya yang seharusnya dilaksanakan,” ujar Muhammad Sayuti.

Sebagai curahan hati, Muhammad Sayuti yang juga pengacara Melayu, menuangkan keresahannya dalam bentuk tulisan sebagai berikut:

Jebat yang Diharap Ternyata Tuah Juga yang Ada

Dalam sejarah Melayu, nama Hang Jebat dikenal sebagai sosok pemberontak yang menentang kezaliman raja, sementara Hang Tuah dikenang sebagai lambang kesetiaan tanpa batas kepada penguasa. Dua figur ini menjadi simbol abadi pertentangan antara loyalitas dan keadilan, antara kewajiban dan nurani. Namun dalam konteks kekuasaan dan hukum masa kini, pepatah “Jebat yang diharap, ternyata Tuah juga yang ada” terasa semakin relevan — menjadi cermin realitas bahwa idealisme sering kali kalah oleh kepatuhan buta terhadap sistem yang timpang.

Kita mengharapkan munculnya ‘Jebat-Jebat baru’ — para penegak hukum, pejabat publik, dan akademisi yang berani menegakkan kebenaran walau berhadapan dengan kekuasaan. Namun, yang sering kita temukan justru “Tuah-Tuah modern” yang memilih diam, tunduk, atau bahkan berkompromi demi kenyamanan pribadi dan stabilitas jabatan. Mereka lebih takut kehilangan posisi daripada kehilangan prinsip.

Dalam sistem hukum, misalnya, keberanian moral seperti Jebat kerap dianggap sebagai pembangkangan. Kritik terhadap penguasa bisa dilabeli ‘melawan arus,’ padahal sejatinya itulah inti dari peran hukum — mengoreksi, bukan menyanjung kekuasaan. Di sinilah tragedi moral kita bermula: ketika keadilan tunduk di bawah loyalitas sempit, dan kebenaran dikorbankan demi ‘ketertiban.’

Ungkapan ini juga dapat dibaca sebagai refleksi sosial-politik. Masyarakat berharap ada pembaruan yang revolusioner, perubahan yang menggugah, namun yang datang justru wajah-wajah lama dengan sikap yang sama: patuh pada struktur, namun lupa pada nurani. Reformasi yang diimpikan berubah menjadi repetisi; kritik berubah menjadi basa-basi.

Namun, sejarah mengajarkan bahwa dunia tidak selalu hitam-putih. Jebat bukan sekadar pemberontak, dan Tuah bukan sekadar pengikut. Dalam setiap insan ada dua sisi itu — keberanian dan kesetiaan — yang harus ditempatkan pada proporsinya. Kesetiaan tanpa keadilan akan melahirkan penindasan, sedangkan keberanian tanpa kebijaksanaan akan menimbulkan kekacauan.

Akhirnya, ungkapan “Jebat yang diharap, ternyata Tuah juga yang ada” adalah sindiran halus namun tajam terhadap kondisi kita: bahwa keberanian moral masih menjadi barang langka. Selama keadilan belum menjadi panglima, selama suara nurani masih dibungkam oleh kepentingan, maka bangsa ini akan terus terjebak dalam paradoks — berharap pada Jebat, namun terus hidup bersama Tuah. By Moesa.

“Redaksi.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *