banner 728x250
Batam  

Di Balik Asap HD, T3, dan OFO: Bisnis Gelap di Bawah Lindungan Kekuasaan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Batam –
Asap rokok merek HD, T3, dan OFO mengepul di warung-warung pesisir, dari Batu Ampar hingga Moro. Harganya jauh di bawah rokok resmi, tanpa pita cukai, tanpa izin edar, tanpa batas distribusi. Namun di balik kepulan asap murah itu, tersimpan cerita panjang tentang bisnis besar, uang besar, dan diamnya hukum.

banner 325x300

Di kota industri dan pelabuhan bebas ini, nama Akim alias Asri dan Bobie Jayanto dan lama-lama lain yang cukup familiar di Provinsi Kepulauan Riau, sudah lama beredar di kalangan aparat, jurnalis, dan pelaku usaha. Keduanya disebut-sebut sebagai pengendali utama jaringan rokok ilegal di Kepulauan Riau — sebuah bisnis yang berjalan senyap namun stabil, dengan pola distribusi terukur dan perlindungan kuat.

“Semua punya peran: ada pengatur barang, pengatur jalur laut, dan pengatur keamanan. Semua bergerak sistematis,” tutur seorang sumber di kawasan Batu Ampar. Ia menolak disebut namanya, dengan alasan klasik tapi realistis: “Karena orang-orang itu tak tersentuh.”

Rantai peredaran rokok ilegal di Batam kini menyerupai mesin raksasa yang bekerja tanpa suara. Produksi dilakukan di gudang tertutup, kadang berpindah-pindah untuk menghindari razia. Barang dikirim lewat kapal kecil dari pelabuhan rakyat — Pelita, Batu Ampar, atau Nongsa — menuju hinterland seperti Belakang Padang, dan tempat pendistribusian Karimun, Lingga dan ibukota Kepulauan Riau Tanjungpinang dan Bintan.

Begitu sampai di sana, rokok-rokok tanpa cukai itu beredar bebas di toko-toko kampung dan kios pelabuhan. Murah, mudah, dan laku keras. Tak ada pita cukai, tak ada pengawasan.

Pemerintah pusat sesungguhnya telah menggencarkan operasi rokok ilegal. Namun, sebagaimana diakui seorang pejabat Bea dan Cukai Batam, penegakan hukum di tingkat lokal tak semudah teori.

“Secara operasional kami tahu pola dan arah distribusinya. Tapi siapa yang mau disentuh, itu urusan lain,” ujarnya pelan.
Ia menambahkan, setiap upaya pembongkaran jaringan besar selalu mentok pada “ruang abu-abu” antara kewenangan dan kepentingan.

Sejak awal 2025, beberapa operasi gabungan Bea Cukai dan Polri memang digelar. Beberapa kapal penyelundup digiring ke pelabuhan Batu Ampar. Beberapa pedagang kecil ditangkap. Tapi nama-nama besar seperti Akim dan Bobie tetap aman.

“Penegakan hukum kita berhenti di level kurir. Sementara para pemodal utama tetap menonton dari jauh,” kata Pengamat.
Menurutnya, fenomena ini memperlihatkan asimetri kekuasaan dalam hukum — di mana hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

lemahnya tindakan terhadap pemain besar menunjukkan adanya kompromi struktural: antara kepentingan ekonomi lokal, jaringan kekuasaan, dan celah penegakan hukum.

“Ketika hukum bergantung pada siapa yang disentuh, maka keadilan menjadi barang dagangan,” ujarnya.

Kementerian Keuangan mencatat potensi kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai lebih dari Rp10 triliun per tahun. Kerugian itu bukan hanya angka di atas kertas: ia berarti pajak yang hilang, buruh yang kehilangan pekerjaan, dan industri resmi yang kalah bersaing.

“Setiap batang rokok ilegal adalah pengkhianatan terhadap keadilan usaha,” tegas Menteri Keuangan Purabaya di Jakarta, awal Oktober lalu. Ia menambahkan, pemerintah berkomitmen menutup celah bagi peredaran rokok tanpa pita cukai yang merusak ekosistem industri nasional.

Namun, di lapangan, idealisme itu berbenturan dengan realitas. Di Batam dan Tanjungpinang — kawasan yang sejak lama dikenal sebagai “wilayah abu-abu” — penegakan hukum sering kali takluk di bawah kuasa finansial.

Seorang mantan pejabat Bea Cukai menyebut ada istilah populer di kalangan pelaku lapangan: “asal jangan gaduh.” Artinya, bisnis boleh jalan, asalkan tidak mencolok dan tidak mengganggu ritme politik setempat.

Menurut penelitian Dr. Riza Albar, pakar ekonomi kriminal, jaringan rokok ilegal di Batam telah berkembang menjadi struktur ekonomi bawah tanah.

“Ini bukan lagi soal cukai. Mereka sudah masuk ke logistik, lahan, bahkan distribusi pangan,” ujarnya.

Ia menyebut fenomena ini sebagai proses menuju state capture — ketika jaringan ekonomi ilegal mulai menembus ruang pengambilan keputusan publik, memengaruhi kebijakan, bahkan menundukkan aparat hukum. “Begitu negara dikuasai oleh ekonomi gelap, maka garis batas antara legal dan ilegal menjadi kabur,” katanya.

Selain kerugian negara, dampak sosial rokok ilegal juga kian nyata. Produk tanpa cukai dijual murah dan mudah dijangkau anak-anak serta remaja. Tak ada uji kesehatan, tak ada standar produksi.

“Rokok ilegal adalah ancaman bagi keselamatan publik dan kredibilitas negara hukum,” tegas, Ketua Asosiasi Industri Rokok Nasional (AIRN).

Ia mengingatkan bahwa perlakuan hukum yang timpang akan mematikan semangat pelaku industri legal yang selama ini patuh membayar pajak dan memenuhi regulasi.

Namun, semua peringatan itu seolah lenyap di balik kepulan asap. Di lapangan, gudang-gudang tetap beroperasi. Kapal-kapal kecil tetap berangkat di malam hari. Dan nama-nama besar tetap bergerak dengan tenang — seolah hukum hanyalah formalitas di atas kertas.

Publik kini menunggu: apakah aparat benar-benar berani menyentuh aktor utama di balik bisnis gelap ini? Karena, “selama yang ditangkap hanya sopir dan kurir, keadilan belum ditegakkan.”

Keberanian negara untuk menembus perlindungan ekonomi-politik di balik jaringan ini akan menjadi batu uji kredibilitas penegakan hukum. Bila aparat berhasil, kepercayaan publik bisa pulih. Tapi bila gagal, Batam akan terus dikenal bukan sebagai kota industri, melainkan sebagai zona abu-abu di bawah lindungan uang dan kekuasaan.

Dan di antara asap rokok yang terus mengepul, pepatah lama kembali terasa relevan:
“Ada uang, semua bisa diatur.”

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *