sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.–
Peredaran rokok tanpa cukai—bahkan diduga menggunakan pita cukai palsu—kian marak di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Fenomena ini menjadi ironi di tengah gencarnya pemerintah mengampanyekan kepatuhan fiskal dan pemberantasan peredaran barang ilegal. Lebih ironis lagi, aktivitas melawan hukum ini seolah berjalan mulus tanpa sentuhan pengawasan serius dari Bea Cukai Tanjungpinang, instansi yang seharusnya berdiri di garda terdepan menjaga marwah hukum fiskal negara.
Salah satu merek yang paling banyak ditemukan beredar bebas di pasaran adalah rokok merek HD — produk yang sudah lama dikenal publik sebagai rokok ilegal karena tidak berpita cukai sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Namun kini, sejumlah laporan masyarakat justru menunjukkan fenomena baru: rokok merek HD dijual dengan pita cukai yang diduga palsu atau bahkan kedaluwarsa.
“Kami banyak menemukan peredaran rokok ilegal yang justru ada pita cukainya. Bukannya itu berarti legal, tapi justru makin berbahaya karena jelas ada manipulasi di situ,” ujar Taufik, salah satu warga Tanjungpinang, saat ditemui 30 Oktober 2025.
Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kepri memperlihatkan potret kerugian yang mencengangkan.
Dalam laporan audit periode 2016–2019, tercatat potensi kerugian negara mencapai Rp182,9 miliar akibat penyimpangan dalam pengelolaan barang kena cukai di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Dari jumlah itu, Rp143,5 miliar berasal dari hilangnya penerimaan cukai rokok, disusul kehilangan pajak rokok Rp14,38 miliar, serta PPN sekitar Rp25,09 miliar.
Angka ini hanyalah puncak dari gunung es. Banyak pihak menduga, setelah 2019, praktik serupa tidak surut—hanya berubah bentuk menjadi lebih “rapi” dan sulit terdeteksi.
“Ini bukan semata soal kehilangan pendapatan, tapi kehilangan integritas fiskal. Ketika negara kalah di wilayah perbatasan, maka hukum fiskal hanya tinggal slogan,” ujar Dr. Heru Santoso, pengamat kebijakan publik Universitas Batam.
Wilayah Kepulauan Riau dikenal memiliki karakteristik geografis yang kompleks: lautan luas, pelabuhan kecil yang banyak, dan jalur masuk yang tersebar. Kondisi ini menjadikan pengawasan menjadi tantangan tersendiri bagi aparat. Namun bagi sebagian warga, alasan geografis tidak cukup untuk menutupi kelemahan sistemik dalam pengawasan aparat di lapangan.
“Kepri ini wilayah kepulauan dan perbatasan, pintu masuknya banyak. Tapi kalau dari pusat sampai daerah tidak ada keseriusan, ya pasti bocor. Barang ilegal masuk seenaknya,” ujar salah satu warga Tanjungpinang dengan nada getir.
Sementara itu, sejumlah pemerhati perdagangan menilai lemahnya pengawasan bukan hanya karena keterbatasan sumber daya manusia, tetapi juga akibat budaya permisif dan kolusi ekonomi yang sudah mengakar.
“Ada budaya diam di sini. Semua tahu, tapi tidak ada yang mau bergerak. Kadang karena takut, kadang karena sudah terbiasa hidup dalam sistem yang abu-abu,” ujar Sutrisno Arif, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Maritim dan Perbatasan.
Di tengah maraknya peredaran rokok ilegal, suara penolakan dari organisasi masyarakat sipil seolah hanya menjadi gema sesaat.
Beberapa organisasi yang sempat menyoroti isu rokok ilegal di Kepri kini disebut “menjadi senyap” setelah tekanan dan janji-janji politis menghampiri.
“Awalnya mereka berkoar menolak peredaran rokok tanpa cukai, tapi setelah ada pertemuan tertentu, semuanya diam. Tidak ada aksi nyata, tidak ada tindak lanjut. Seolah perjuangan hanya sampai di panggung media,” ungkap salah satu aktivis muda Tanjungpinang.
Fenomena ini memperlihatkan betapa lemahnya konsistensi moral publik dalam melawan kejahatan ekonomi terstruktur. Tanpa dukungan moral dari masyarakat dan keberanian sipil, praktik kecurangan akan terus mencari ruang hidup.
Kepulauan Riau, sebagai wilayah strategis perdagangan lintas negara, sejatinya memiliki potensi besar menjadi pusat ekonomi sah dan berintegritas. Namun tanpa pengawasan ketat dan moral birokrasi yang kuat, Kepri justru berisiko menjadi zona abu-abu — tempat hukum dipermainkan, negara dirugikan, dan integritas dijadikan barter.
“Pengawasan bukan sekadar patroli. Ia adalah manifestasi dari moral kenegaraan. Ketika aparat diam, ketika masyarakat apatis, di situlah negara kehilangan wibawa,” ujar Dr. Bambang Winarno, dosen etika pemerintahan.
Masalah rokok ilegal bukan hanya persoalan ekonomi. Ia adalah cermin dari kepemimpinan publik—apakah pemerintah benar-benar hadir menjaga kedaulatan fiskal dan moral bangsanya, atau sekadar hadir di spanduk sosialisasi.
Kini, tantangannya jelas:
Apakah Bea Cukai Tanjungpinang dan aparat terkait akan bergerak menegakkan hukum secara tegas dan terbuka?
Ataukah Kepri akan terus menjadi ladang subur bagi ekonomi bayangan, di mana hukum hanya menjadi tulisan di lembar undang-undang?
Karena pada akhirnya, sebagaimana diingatkan oleh seorang tokoh masyarakat di Penyengat.“Ketika hukum bisa dibeli, maka yang dijual bukan hanya rokok ilegal, tapi juga kehormatan negeri.”
( arf-6 )

















