sidikfokusnews.com-Bintan.– Tim gabungan dari Satpol PP Kabupaten Bintan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Pemerintah Kecamatan Teluk Sebong menghentikan sementara aktivitas pembangunan dan operasional dua vila di kawasan pesisir Teluk Sebong, Kabupaten Bintan. Langkah ini diambil setelah muncul laporan masyarakat mengenai aktivitas pembangunan vila yang diduga belum memiliki izin lingkungan, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), serta izin operasional.
Kasatpol PP Kabupaten Bintan, Suwarsono, mengatakan penindakan dilakukan setelah tim gabungan melakukan pemeriksaan lapangan terhadap laporan warga mengenai bangunan yang berdiri di kawasan pesisir tanpa izin resmi.
“Setelah dilakukan pengecekan, tim tidak menemukan aktivitas pembangunan di lokasi. Namun, ditemukan 12 unit vila atau rumah pohon milik warga Singapura, termasuk 4 unit di tepi sungai dan 8 unit lainnya di sempadan sungai, beserta 1 restoran di kawasan Vila Mangrove dan Wisata Mangrove,” ujar Suwarsono, Rabu (29/10).
Selain itu, di kawasan Yayasan Cahaya Obor Berkat di Kampung Rambutan, tim juga menemukan dua unit vila milik warga Batam di atas lahan sekitar enam hektare. Hasil pemeriksaan menunjukkan kedua vila tersebut juga belum mengantongi izin lingkungan, izin PBG, dan izin operasional.
“Kita setop sementara aktivitas mereka sampai seluruh izin dilengkapi,” tegas Suwarsono.
Lebih jauh, pihaknya akan berkoordinasi dengan DLH dan Dinas PUPR Bintan untuk memastikan status lahan di dua lokasi tersebut, apakah termasuk kawasan lindung atau Areal Penggunaan Lain (APL).
“Kita harus pastikan status kawasannya agar jelas apakah boleh dibangun atau tidak,” ujarnya.
Meski demikian, hingga berita ini diturunkan, kepala Satpol PP Bintan belum memberikan tanggapan komprehensif mengenai kelanjutan penindakan maupun potensi sanksi administratif yang akan diterapkan terhadap pemilik vila.
Warga setempat yang ditemui media ini mengaku prihatin dengan keberadaan vila-vila tersebut. Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menuturkan, pembangunan vila di kawasan sempadan sungai sudah berlangsung sejak lama dan seolah-olah “kebal hukum”.
“Kasihan juga orang yang dulu melapor, katanya sekarang malah terdepak dari kelompok yang menguasai lahan dan vila itu,” ujarnya lirih.
Pengamat kebijakan investasi dan Penanaman Modal Asing (PMA), menilai kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan tata kelola izin usaha pariwisata di daerah. Ia menilai bahwa pemerintah daerah cenderung reaktif — bertindak setelah ada laporan warga — padahal seharusnya memiliki sistem deteksi dini terhadap aktivitas pembangunan yang berpotensi melanggar aturan lingkungan dan tata ruang.
“Fenomena vila tanpa izin di kawasan pesisir bukan hal baru di Bintan. Ini gejala klasik dari lemahnya koordinasi antarinstansi, terutama dalam pengawasan PMA yang masuk lewat sektor pariwisata,” jelasnya.
Menurutnya, Bintan sebagai daerah strategis pariwisata internasional seharusnya menjadi contoh tata kelola investasi yang tertib dan transparan, bukan justru rawan penyimpangan. Ia menekankan pentingnya integrasi antara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), DLH, PUPR, dan Satpol PP dalam satu sistem digital berbasis peta izin (geoportal).
“Dengan sistem itu, semua pembangunan yang belum punya izin lingkungan atau melanggar batas kawasan lindung bisa terdeteksi otomatis. Kita tidak boleh terus membiarkan lahan pesisir dijadikan komoditas privat oleh investor tanpa tanggung jawab sosial dan ekologis,” tegasnya.
Pemerhati lingkungan juga mengingatkan agar Pemkab Bintan tidak sekadar melakukan penghentian sementara, tetapi menindaklanjuti dengan audit lingkungan menyeluruh. “Kalau memang terbukti melanggar tata ruang dan perizinan, vila-vila itu harus dibongkar. Negara tidak boleh kalah oleh modal, apalagi kalau menyangkut aset ekologis seperti mangrove dan sempadan sungai,” ujarnya.
Kasus ini, menurutnya, juga menjadi alarm bagi otoritas pariwisata dan pengawas investasi asing agar tidak abai terhadap dampak sosial-ekologis dari kegiatan pariwisata eksklusif. “Kita tidak anti-investasi, tapi investasi yang masuk ke Bintan harus menghormati kedaulatan hukum dan lingkungan,” pungkasnya.
Penghentian sementara dua vila di Teluk Sebong ini membuka kembali perbincangan lama tentang bagaimana kepentingan bisnis sering kali melangkahi aturan tata ruang dan konservasi di daerah wisata. Pertanyaannya kini: apakah tindakan Satpol PP Bintan akan berlanjut menjadi penegakan hukum yang nyata, atau hanya berhenti di tahap peringatan administratif — seperti yang sering terjadi sebelumnya?
(Tim)

















