sidikfokusnews.com-Batam.—
Di balik reruntuhan bangunan megah Hotel Purajaya yang kini tinggal puing-puing di kawasan strategis Batam, tersimpan kisah getir tentang bagaimana hukum, kuasa, dan kebenaran dipermainkan di hadapan publik. Eksekusi fisik terhadap bangunan bernilai ratusan miliar rupiah itu menjadi simbol benturan antara kewenangan administratif dan supremasi hukum — dan di tengah pusaran itu, nama Ariastuty Sirait, pejabat humas BP Batam, mencuat sebagai figur kontroversial.
Secara hukum, tindakan administratif berupa pembatalan atau pengosongan lahan memang menjadi kewenangan badan otorita. Namun eksekusi fisik terhadap bangunan milik pihak ketiga adalah hal berbeda: ia menuntut dasar hukum yang jauh lebih kuat, idealnya berupa putusan pengadilan yang telah inkrah. Tanpa itu, penggusuran atau pembongkaran bisa dianggap melanggar hukum dan melampaui batas kewenangan administratif.
Namun di tangan Ariastuty Sirait dan tim terpadu bentukan BP Batam, tindakan yang semestinya dijalankan dengan kehati-hatian hukum itu justru tampak seperti sandiwara kekuasaan. Beberapa pengamat hukum, pelaku usaha, hingga laporan media menyebut tindakan pembongkaran Hotel Purajaya tidak memiliki dasar eksekusi pengadilan. Dalam pandangan hukum, ini dapat dikategorikan sebagai eksekusi ilegal.
Padahal, jejak perkara hukum antara BP Batam dan PT Dwi Tujuh Lestari (DTL) selaku pengelola hotel ini pernah bergulir di berbagai tingkatan: dari PTUN hingga Mahkamah Agung. Sebagian pihak menang, sebagian kalah, namun yang menjadi pertanyaan mendasar: apakah ada amar putusan pengadilan yang memberi wewenang eksekusi fisik? Jika tidak, maka seluruh proses pembongkaran seharusnya ditangguhkan, terlebih bila masih ada penundaan pelaksanaan dari pengadilan.
Kunci persoalan ini sesungguhnya sederhana: keberadaan bukti surat permohonan perpanjangan UWT yang diajukan PT DTL kepada BP Batam. Ariastuty Sirait, dalam sejumlah pernyataannya kepada publik, menegaskan bahwa “tidak ada permohonan perpanjangan” dari pihak PT DTL — sebuah pernyataan yang kini justru berbalik menjadi pusat sengketa hukum dan moral.
PT DTL mengklaim memiliki bukti autentik berupa surat, tanda terima, dan log sistem LMS BP Batam yang menunjukkan permohonan perpanjangan telah diajukan secara sah. Jika bukti itu benar adanya, maka pernyataan Ariastuty bukan sekadar keliru, melainkan dapat dikualifikasikan sebagai penyebaran berita bohong (hoaks) yang menimbulkan kerugian reputasi dan materiil bagi pihak lain.
Tidak berhenti di situ, PT DTL bahkan telah melaporkan BP Batam ke pihak kepolisian atas dugaan penyebaran berita bohong. Dalam konteks hukum, pembuktian terhadap kebohongan publik semacam ini bergantung pada dokumen — surat resmi, email, log server, hingga kronologi komunikasi internal. Tanpa bukti-bukti itu, pernyataan Humas BP Batam bisa dianggap sebagai manipulasi informasi publik.
Sementara itu, di lapangan, perintah pembongkaran fisik pada 21 Juni 2023 diduga hanya berdasar pada nota dinas internal dan kontrak pelaksana yang ditandatangani oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), bukan melalui surat perintah eksekusi pengadilan. Jika benar demikian, maka perintah itu cacat hukum, sebab tanah dan bangunan di atasnya masih berstatus sah milik PT DTL berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang belum pernah dicabut oleh BPN.
Dengan demikian, tindakan pembongkaran bukan hanya melanggar hukum administrasi, tetapi juga berpotensi merampas hak atas kekayaan pihak lain secara tidak sah. Pembayaran UWT dan bukti pelunasan yang dimiliki PT DTL justru memperkuat posisi hukum mereka sebagai pemegang hak sah atas aset tersebut.
Kini, seluruh bahan, bukti, dan dokumen — termasuk rekaman pernyataan Ariastuty Sirait di media — telah dikompilasi menjadi berkas pembuktian hukum. Rangkuman tersebut disiapkan untuk diserahkan kepada penasihat hukum dan berpotensi menjadi lampiran gugatan perdata maupun laporan pidana terhadap BP Batam dan pejabat terkait.
Kasus Hotel Purajaya telah berkembang menjadi lebih dari sekadar sengketa tanah: ia menjadi potret buram birokrasi yang kehilangan integritas, di mana kekuasaan administratif berubah menjadi alat kepentingan. Di tengah geliat investasi Batam yang kian menggeliat, peristiwa ini meninggalkan luka simbolik — “Hari Melayu yang tercabik di bawah buldoser kuasa.”
Mungkin, sejarah kelak akan mencatat bahwa yang runtuh di Batam bukan hanya dinding Hotel Purajaya, tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap keadilan dan kebenaran.”arf-6

















