sidikfokusnews.com-Batam.— Gelombang pemulangan besar-besaran pekerja migran Indonesia dari Malaysia kembali terjadi sepanjang tahun 2025. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru mencatat sebanyak 4.882 warga negara Indonesia (WNI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) telah dideportasi dari Negeri Jiran hingga Oktober tahun ini. Dari jumlah tersebut, Batam menjadi pintu utama repatriasi, menampung ribuan deportan sebelum mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing.
Pada Oktober 2025 saja, tercatat 372 WNI dipulangkan melalui Pelabuhan Internasional Batam Center, Kepulauan Riau. Para deportan merupakan WNI yang melanggar peraturan keimigrasian Malaysia — mulai dari masa izin tinggal yang telah habis, bekerja tanpa dokumen resmi, hingga pelanggaran administratif lainnya.
Para WNI tersebut berasal dari berbagai Depot Tahanan Imigrasi (DTI) di Semenanjung Malaysia, antara lain DTI Pekan Nenas dan Setia Tropika (Johor), DTI Kemayan (Pahang), serta DTI Machap Umboo (Melaka). Mereka sebelumnya ditahan karena tidak memiliki izin kerja atau dokumen kependudukan yang sah.
Menariknya, dari jumlah tersebut, 150 orang dipulangkan melalui Program M, sebuah inisiatif dari Kerajaan Malaysia yang bertujuan memfasilitasi pemulangan warga asing secara manusiawi. Program ini menjadi bentuk kerja sama bilateral yang menekankan sisi kemanusiaan dalam penegakan hukum keimigrasian, terutama bagi pekerja migran yang berada dalam situasi sulit.
“Program M adalah langkah strategis dari pemerintah Malaysia untuk menertibkan tenaga kerja asing tanpa dokumen, sekaligus memberikan kesempatan bagi mereka untuk pulang dengan aman,” ujar Jati H. Winarto, Ketua Satgas Pelayanan dan Perlindungan KJRI Johor Bahru, dalam keterangannya, Senin (27/10/2025).
Batam Jadi Gerbang Kemanusiaan
Kedatangan para deportan difokuskan di Pelabuhan Internasional Batam Center, yang kini berfungsi sebagai pusat penanganan repatriasi nasional, disusul oleh Pelabuhan Dumai, Riau, sebagai jalur alternatif. Setibanya di Batam, para deportan terlebih dahulu menjalani proses pendataan dan pemeriksaan kesehatan di Pos Pelayanan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P4MI) sebelum dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.
KJRI Johor Bahru bekerja sama dengan berbagai lembaga di Indonesia seperti BP2MI, BP3MI, P4MI, Kantor Imigrasi Batam, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Bea dan Cukai, serta Kepolisian, memastikan seluruh proses berjalan aman dan tertib.
Dukungan juga datang dari Jabatan Imigresen Malaysia (JIM) dan Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yang berperan aktif dalam memperlancar proses deportasi.
“Kami terus berkoordinasi agar setiap pemulangan berjalan lancar. Semua pihak bekerja keras, baik dari Malaysia maupun Indonesia, untuk memastikan para deportan dipulangkan secara aman dan bermartabat,” kata Jati H. Winarto.
KJRI Johor Bahru juga telah menjadwalkan gelombang deportasi berikutnya pada 30 Oktober 2025, di mana 150 WNI tambahan akan dipulangkan melalui kerja sama dengan pihak JIM Putrajaya.
Peringatan bagi Calon Pekerja Migran
Meski deportasi dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, Jati menegaskan bahwa pelanggaran keimigrasian tetap menjadi tanggung jawab pribadi setiap individu. Ia mengingatkan agar seluruh calon pekerja migran yang ingin bekerja di luar negeri mengikuti prosedur resmi melalui jalur yang diatur oleh pemerintah Indonesia.
“Kami mengimbau agar WNI yang ingin bekerja di Malaysia mematuhi aturan yang berlaku. Ini penting untuk melindungi diri mereka dari risiko hukum, penipuan, maupun eksploitasi,” tegas Jati.
Menurut data BP2MI, Malaysia masih menjadi salah satu negara tujuan utama pekerja migran asal Indonesia. Namun, tingginya permintaan kerja kerap dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab yang menawarkan jalur cepat tanpa izin resmi. Akibatnya, ribuan warga setiap tahunnya terjebak dalam status ilegal dan berakhir dengan deportasi.
Upaya Pemerintah di Batam
Pemerintah daerah Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau turut mengambil peran aktif dalam menangani pemulangan WNI dari Malaysia. Selain menjadi pusat logistik dan transit, Batam juga menyediakan fasilitas penampungan sementara, tenaga medis, serta pendampingan psikologis bagi para deportan.
Kepala BP3MI Kepri, dalam keterangannya, menyebutkan bahwa sebagian besar deportan merupakan warga dari daerah seperti NTT, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lombok, yang berangkat ke Malaysia melalui jalur laut tanpa izin resmi.
“Kami tidak hanya memulangkan mereka, tapi juga memberikan edukasi dan pendampingan agar kasus serupa tidak terulang. Banyak di antara mereka adalah korban iming-iming pekerjaan cepat tanpa dokumen,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Batam Nursalim Tinggi, Ketua Afiliasi Pengajar Penulis Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain Provinsi Kepulauan Riau, memberikan apresiasi terhadap kerja keras petugas di lapangan.
“Batam kini bukan hanya kota industri, tetapi juga gerbang kemanusiaan. Penanganan deportan ini menunjukkan bahwa negara hadir melindungi warganya, tanpa memandang status sosial mereka,” kata Nursalim.
Pandangan serupa disampaikan Asmen Qaeder, tokoh muda Batam yang menilai bahwa kesiapan Batam menangani arus deportasi mencerminkan kedewasaan sistem koordinasi antarlembaga.
“Batam membuktikan bahwa koordinasi lintas instansi dapat bekerja efektif. Kota ini menjadi wajah Indonesia di perbatasan, dan harus terus dijaga reputasinya,” ujarnya.
Sinergi Dua Negara.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia kembali menunjukkan kekuatan dalam kerja sama penanganan pekerja migran. Pemerintah Malaysia melalui Program M menunjukkan komitmen untuk mengedepankan aspek kemanusiaan, sementara Indonesia memperkuat perlindungan bagi warganya melalui diplomasi dan kebijakan penempatan kerja yang lebih aman.
Kedua negara sepakat bahwa pengelolaan tenaga kerja migran harus dilakukan secara legal, transparan, dan bermartabat. KJRI Johor Bahru menjadi garda terdepan dalam memastikan hak-hak para pekerja tetap dihormati selama proses deportasi berlangsung.
“Deportasi ini bukan sekadar pemulangan, melainkan momentum untuk memperbaiki sistem perlindungan pekerja migran kita. Negara harus hadir sejak awal, bukan setelah masalah terjadi,” ujar Jati menutup pernyataannya.
Dengan total hampir 5.000 WNI dideportasi sepanjang 2025, Batam kini benar-benar menjadi pusat repatriasi nasional. Gelombang pemulangan yang terus berlangsung menjadi pengingat penting bagi calon pekerja migran untuk tidak tergoda jalan pintas, dan bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan serta edukasi masyarakat di daerah-daerah pengirim PMI.
Batam, di tengah arus deportasi yang terus mengalir, kembali menunjukkan fungsinya sebagai gerbang utama kepulangan anak bangsa bukan sekadar pelabuhan, melainkan simbol kemanusiaan dan solidaritas sesama WNI di tanah air. (NUrsalim Turatea)

















