sidikfokusnews.com – Tanjungpinang
-Wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas kembali bergema di tengah semangat otonomi daerah yang belum padam. Di sebuah pertemuan malam di restoran Sungai Enam, Tanjungpinang, sejumlah anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau dari daerah pemilihan Natuna–Anambas — di antaranya Daeng Anhar, Marzuki, dan Mustamin Bakri — turut hadir mendengarkan aspirasi yang telah lama tumbuh dari masyarakat dua kabupaten di beranda utara Nusantara itu.
Dorongan pembentukan provinsi baru ini bukan semata persoalan politik identitas, tetapi juga lahir dari keresahan yang nyata: perlunya pemerintahan yang lebih dekat, pelayanan publik yang lebih cepat, dan pembangunan yang lebih merata. Namun, di balik gairah otonomi dan semangat kemandirian daerah, muncul pertanyaan mendasar yang menuntut jawaban rasional: apakah gagasan pembentukan Provinsi Natuna–Anambas telah memenuhi syarat konstitusional, administratif, dan ekonomis sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan?
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menegaskan bahwa setiap usulan Daerah Otonomi Baru (DOB) harus didasari kajian akademik yang komprehensif. Kajian tersebut wajib menelaah kemampuan ekonomi, potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya, politik, keamanan, hingga efisiensi pelayanan publik.
Dalam konteks ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau bersama Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) disebut telah menyusun naskah akademik untuk mendukung pembentukan provinsi baru. Hasil awal kajian menunjukkan bahwa Natuna dan Anambas memiliki keunggulan signifikan di sektor ekonomi maritim, mulai dari perikanan pelagis, pariwisata bahari, hingga sumber daya migas di Cekungan Natuna. Namun demikian, sejumlah pengamat menilai dokumen itu belum sepenuhnya diverifikasi oleh pemerintah pusat, khususnya dalam aspek kelayakan fiskal dan kesiapan kelembagaan.
“Secara semangat, otonomi Natuna–Anambas sangat kuat. Tapi dari sisi regulasi dan kesiapan fiskal, daerah perlu menyiapkan lebih banyak bukti empiris agar tidak hanya jadi gagasan politik,” ujar seorang peneliti kebijakan publik yang terlibat dalam penyusunan kajian tersebut.
Dari perspektif geopolitik, keberadaan Natuna dan Anambas memiliki arti strategis yang tak terbantahkan. Berhadapan langsung dengan Laut Natuna Utara dan Laut Cina Selatan — dua kawasan yang menjadi jalur vital perdagangan dunia dan titik rivalitas geopolitik global — wilayah ini merupakan pintu depan Indonesia dalam menjaga kedaulatan maritim.
Pakar hubungan internasional Universitas Pertahanan, Brigjen (Purn.) Dr. Wahyu Triana, menilai pembentukan DOB Natuna–Anambas memiliki nilai strategis bagi pertahanan nasional.
“Jika Natuna–Anambas berdiri sebagai provinsi, pemerintah bisa menempatkan pusat komando ekonomi dan pertahanan langsung di perbatasan. Ini bukan semata pemekaran administratif, tetapi penguatan eksistensi negara di kawasan yang menjadi panggung persaingan global,” ujarnya.
Namun urgensi geopolitik saja tidak cukup. Tantangan paling krusial terletak pada kemampuan fiskal dan kesiapan sumber daya manusia. Pemerintah Provinsi Kepri bersama kabupaten pengusul disebut telah menyiapkan rancangan mekanisme pembiayaan dan pembagian aset, termasuk alokasi ASN. Tetapi ekonom regional Dr. Nurlina Hafidz mengingatkan bahwa tanpa basis pendapatan asli daerah yang kuat, provinsi baru justru berpotensi membebani APBD dan APBN.
“Kemandirian fiskal adalah syarat mutlak. DOB baru harus bisa hidup dari kekuatan ekonominya sendiri, bukan menggantungkan diri pada dana transfer pusat,” tegas Nurlina.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kesiapan infrastruktur dan pelayanan publik. Banyak wilayah di Natuna dan Anambas masih menghadapi keterbatasan akses transportasi laut, jaringan komunikasi, hingga fasilitas dasar pemerintahan. Dalam situasi demikian, pembentukan provinsi baru perlu dirancang bertahap, berbasis peta jalan realistis yang memastikan kesiapan struktural sebelum keputusan politik diambil.
Mantan Bupati Natuna, Drs. H. Amirullah, A.Pt., menilai perlu pemahaman mendalam terhadap dasar hukum otonomi sebelum melangkah lebih jauh.
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menekankan pentingnya efisiensi dan peningkatan pelayanan publik. Semangat otonomi jangan sampai menimbulkan beban baru bagi masyarakat,” ujarnya mengingatkan.
Bagi masyarakat di garis depan perbatasan, wacana Provinsi Natuna–Anambas adalah simbol pengakuan atas peran mereka menjaga kedaulatan negara. Namun bagi pemerintah pusat, setiap keputusan pembentukan daerah baru harus berpijak pada kajian ilmiah dan kesiapan administrasi yang matang.
Pada akhirnya, wacana Natuna–Anambas menjadi cermin tarik-menarik antara idealisme daerah dan kalkulasi negara. Ia adalah ujian bagi Indonesia — apakah otonomi masih dimaknai sebagai jalan menuju pemerataan dan kemandirian, atau sekadar menjadi proyek politik jangka pendek tanpa fondasi kokoh.
Selama pertanyaan mendasar itu belum dijawab dengan jernih — apakah syarat akademik terpenuhi, apakah pembentukan provinsi ini benar-benar memperkuat kedaulatan, dan apakah membawa kesejahteraan nyata bagi rakyat — maka Natuna–Anambas akan tetap berada di persimpangan sejarah: antara cita-cita otonomi dan realitas administrasi negara.”arf-6

















