banner 728x250

Natuna–Anambas di Persimpangan Jalan: Suara Rasional Raja Amirullah di Tengah Euforia Pemekaran Provinsi Baru

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Drs. H. Amirullah, A.Pt,.

sidikfokusnews.com-Natuna.—
Wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas kembali mencuat dan memantik diskusi hangat di ruang publik Kepulauan Riau. Di tengah derasnya dukungan dari sebagian kalangan, muncul pula suara rasional yang mengingatkan agar semangat otonomi tidak berubah menjadi euforia politik tanpa dasar. Suara itu datang dari Raja Amirullah — tokoh pemerintahan dan pembangunan daerah yang dikenal berpandangan objektif serta bernas dalam menilai isu-isu strategis.

banner 325x300

Dalam tulisannya berjudul “Sekilas Pandang Wacana Pembentukan Provinsi Natuna–Anambas”, Amirullah menegaskan bahwa gagasan membentuk provinsi baru harus berlandaskan pada realitas hukum, kesiapan objektif, dan kepentingan masyarakat jangka panjang. Ia mengingatkan bahwa pemekaran tidak boleh didorong oleh romantisme sejarah atau ambisi segelintir elite.

“Secara hukum dan kondisi riil, Natuna–Anambas belum layak menjadi provinsi baru,” tegasnya. Ia menyoroti bahwa hampir seluruh syarat formal — mulai dari jumlah kabupaten minimal, jumlah penduduk, kesiapan infrastruktur, hingga kapasitas fiskal — belum terpenuhi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pilar-Pilar Rasionalitas

Raja Amirullah membingkai pandangannya melalui tiga pilar argumentatif: ekonomi dan fiskal, kewilayahan dan hukum, serta strategi pembangunan nasional.

Pertama, dari sisi ekonomi dan fiskal, ia menilai pemekaran Natuna–Anambas justru berisiko melemahkan dua pihak sekaligus: Provinsi Kepri sebagai provinsi induk dan calon provinsi baru itu sendiri. Kepri, kata dia, akan kehilangan sumber pendapatan utama dari Dana Bagi Hasil (DBH) sektor migas yang selama ini menopang pembangunan lintas kabupaten dan kota.

“Apakah kita sudah memastikan bahwa potensi fiskal daerah baru itu cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa membebani keuangan daerah dan negara?” ujarnya retoris.

Kedua, dari aspek kewilayahan, UU Pemerintahan Daerah mensyaratkan minimal lima kabupaten/kota untuk membentuk satu provinsi, sementara Natuna dan Anambas baru dua. Ia juga menilai belum ada dasar hukum yang memungkinkan pembentukan “provinsi khusus” sebagaimana sempat diwacanakan.

Tak hanya soal regulasi, Amirullah menyinggung pula dimensi sosial: adanya penolakan dari sebagian masyarakat Anambas, khususnya kalangan perantau yang merasa tidak dilibatkan dalam diskusi akademik maupun politik. “Berpisah dari Kepri justru bisa menjadi langkah mundur, bukan kemajuan,” tulisnya.

Ketiga, dan menurutnya paling strategis, adalah perjuangan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan. Jika disahkan, UU ini akan mengubah mekanisme transfer dana pusat secara fundamental, dengan memperhitungkan karakteristik geografis wilayah kepulauan — bukan hanya luas daratan atau jumlah penduduk.

“Pemekaran bukan jaminan otomatis untuk meningkatkan kesejahteraan,” tegasnya. “Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah efisiensi birokrasi dan keadilan alokasi anggaran dalam bingkai Provinsi Kepulauan Riau.”

Solusi Tengah: Status Kawasan Strategis Nasional Tertentu

Alih-alih mendorong pemekaran, Raja Amirullah mengusulkan jalan tengah yang lebih rasional: menjadikan Natuna–Anambas sebagai Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Status ini akan membuka peluang percepatan pembangunan nasional, peningkatan anggaran, penguatan pertahanan, serta percepatan investasi di sektor migas, perikanan, dan pariwisata.

Menurutnya, dasar hukum untuk itu sudah tersedia melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang RTRWN, serta Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Kawasan Strategis Nasional.

“Natuna–Anambas secara de facto sudah strategis, hanya saja belum memiliki payung hukum yang menetapkannya demikian,” ujarnya.

Ia pun menyerukan agar pemerintah daerah, DPRD, dan seluruh elemen masyarakat bersatu memperjuangkan status KSNT tersebut — solusi yang tidak menabrak hukum, namun tetap memperkuat posisi strategis Natuna–Anambas di kawasan utara Indonesia.

Seruan Dialog dan Kearifan

Raja Amirullah menutup pandangannya dengan ajakan moral dan intelektual. “Perbedaan pendapat bukan alasan untuk bermusuhan. Sebaliknya, perbedaan adalah kesempatan untuk saling melengkapi dan membangun kehidupan yang lebih harmonis,” katanya.

Ia menegaskan, kemajuan daerah tidak selalu lahir dari pembentukan provinsi baru, melainkan dari kebijakan yang cerdas, rasional, dan berpijak pada hukum. Di tengah ketimpangan pembangunan dan keterbatasan fiskal nasional, suara Amirullah menjadi penyeimbang penting — pengingat bahwa semangat otonomi harus tetap berpijak pada data, nalar, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.”arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *