banner 728x250
Batam  

Integrasi Ilmu dan Wahyu — Fisika Waktu dan Relativitas Al-‘Ashr dalam Pandangan Prof. Dr. Chablullah Wibisono

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MBA, MM, IPU — Guru Besar sekaligus Wakil Rektor I Universitas Batam.

sidikfokusnews.com-Batam.- Waktu selalu menjadi teka-teki terbesar dalam sejarah pemikiran manusia. Ia hadir dalam setiap detak kehidupan, namun tetap menjadi misteri yang tak pernah sepenuhnya terungkap. Dari laboratorium fisika hingga ruang tafakur spiritual, manusia terus berusaha memahami apa sebenarnya hakikat waktu. Dalam konteks ini, pemikiran Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MBA, MM, IPU — Guru Besar sekaligus Wakil Rektor I Universitas Batam — menawarkan sintesis yang menarik antara ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai wahyu. Melalui makalahnya yang berjudul “Fisika Waktu: Integrasi Ilmu dan Wahyu dalam Perspektif Relativitas dan QS. Al-‘Ashr”, Prof. Chablullah menghadirkan jembatan antara Einstein dan Al-Qur’an, antara laboratorium dan mihrab.

banner 325x300

Dalam fisika modern, waktu tidak lagi dianggap mutlak sebagaimana dalam pandangan Newtonian. Relativitas Einstein mengajarkan bahwa waktu adalah variabel yang bergantung pada ruang, kecepatan, dan gravitasi. Semakin cepat kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, semakin lambat waktu berjalan bagi kita. Fenomena time dilation atau dilatasi waktu membuktikan bahwa waktu bukan garis lurus yang seragam, melainkan dimensi lentur yang menyesuaikan diri terhadap gerak dan massa. Dalam hukum termodinamika, waktu pun dikaitkan dengan entropi — ukuran ketidakteraturan alam. Semakin tinggi entropi, semakin kuat arah waktu menuju masa depan.

Namun, sebagaimana ditegaskan Prof. Chablullah, pandangan ilmiah ini hanyalah separuh dari realitas waktu. Separuh lainnya tersimpan dalam wahyu. Dalam surah Al-‘Ashr, Allah bersumpah demi masa — sebuah deklarasi kosmis tentang nilai dan kesucian waktu. “Wal ‘ashr, innal insaana lafii khusr,” demikian firman-Nya. Dalam sumpah itu terkandung peringatan bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.

Prof. Chablullah membaca ayat ini dengan kacamata ilmiah sekaligus moral. Menurutnya, sumpah Allah terhadap waktu menandakan bahwa waktu bukan sekadar durasi, melainkan amanah eksistensial. Waktu adalah medan ujian, tempat iman diuji dan amal diuji. Seperti halnya dalam fisika relativitas, di mana waktu dapat melambat tergantung pada sistem yang menaunginya, dalam “relativitas spiritual” Al-‘Ashr, nilai waktu bergantung pada bagaimana manusia menggunakannya. Bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, setiap detik bernilai kekal; sedangkan bagi yang lalai, seluruh usia bisa berlalu tanpa makna.

Menariknya, Al-Qur’an sendiri menyiratkan konsep relativitas waktu yang sejalan dengan sains modern. Dalam QS. Al-Hajj ayat 47 disebutkan, “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” Ayat ini tidak hanya menggambarkan keagungan Allah, tetapi juga menegaskan bahwa waktu tidak seragam dalam segala keadaan. Dalam konteks teologis, ia menunjukkan kebesaran Sang Pencipta yang melampaui dimensi waktu. Dalam konteks ilmiah, ia selaras dengan teori Einstein yang membuktikan bahwa kecepatan dan gravitasi dapat memperlambat laju waktu.

Prof. Chablullah kemudian merumuskan empat pilar waktu berdasarkan QS. Al-‘Ashr: iman, amal saleh, tawashau bil-haq, dan tawashau bis-shabr. Keempat prinsip ini adalah koordinat moral dalam ruang-waktu kehidupan manusia. Jika relativitas Einstein menjelaskan bagaimana waktu melengkung oleh gravitasi, maka empat prinsip ini menjelaskan bagaimana waktu memperoleh nilai melalui moralitas. Tanpa iman dan amal, waktu hanyalah lintasan kosong. Tanpa kesabaran dan komitmen terhadap kebenaran, waktu menjadi sekadar arus yang menenggelamkan makna hidup.

Di sinilah integrasi ilmu dan wahyu menemukan relevansinya. Prof. Chablullah menolak dikotomi antara sains dan agama. Menurutnya, fisika adalah bahasa ciptaan Allah, sementara wahyu adalah firman-Nya. Fisika menjelaskan bagaimana waktu bekerja, sedangkan wahyu menjelaskan untuk apa waktu diciptakan. Dalam pandangan ini, kebenaran tidak lagi dibatasi oleh laboratorium atau masjid, melainkan bersatu dalam satu kesadaran: bahwa alam dan wahyu adalah dua cermin yang memantulkan wajah Tuhan.

Jika dalam relativitas fisika kecepatan cahaya menjadi batas tertinggi persepsi manusia terhadap waktu, maka dalam relativitas spiritual, batas itu adalah iman. Cahaya dalam fisika adalah konstanta universal; iman dalam wahyu adalah konstanta eksistensial. Keduanya menuntun manusia menembus kegelapan menuju pemahaman hakikat.

Dalam penutup makalahnya, Prof. Chablullah mengajak masyarakat akademik dan umat Islam untuk menjadikan waktu bukan sekadar ukuran kronologis, melainkan ukuran kesadaran. Waktu, katanya, adalah energi moral yang menentukan arah hidup. Ia dapat memperpendek jarak menuju Tuhan bagi yang beriman, atau menjauhkan manusia dari fitrah bagi yang lalai.

Pandangan Prof. Chablullah ini mengingatkan kita bahwa ilmu tanpa iman kehilangan makna, dan iman tanpa ilmu kehilangan pijakan. Relativitas Einstein menjelaskan hukum ruang dan waktu di alam semesta; “relativitas Al-‘Ashr” menjelaskan hukum waktu dalam jiwa manusia. Ketika keduanya disatukan, lahirlah pemahaman yang utuh tentang keberadaan: bahwa setiap detik adalah peluang untuk memahami Tuhan, dan setiap waktu yang terlewat tanpa kebaikan adalah bentuk kehilangan yang nyata.

Di tengah dunia modern yang sibuk mengejar efisiensi namun sering kehilangan makna, pemikiran ini menjadi oase reflektif. Ia mengingatkan kita bahwa waktu bukan sekadar sesuatu yang dihabiskan, melainkan sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Dan barangkali, sebagaimana ditegaskan Prof. Chablullah Wibisono, memahami waktu dengan hati yang sadar adalah langkah pertama untuk memahami kehidupan itu sendiri.”(Nurdalim turatea)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *