Oleh : Sukardi. Mahasiswa Pascasarjana S3 Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMK)
sidikfokusnews.com-Jakarta.-Dalam arus deras globalisasi yang menggerus batas-batas budaya, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjaga identitas dan nilai-nilai luhur yang menjadi akar kepribadian bangsa. Budaya ketimuran yang dahulu menjadi fondasi moral dan sosial masyarakat kini kian terpinggirkan oleh budaya instan, pragmatis, dan individualistik. Padahal, budaya ketimuran menyimpan kekayaan nilai yang luar biasa kesopanan, rasa hormat, empati, tanggung jawab sosial, dan semangat kebersamaan yang semuanya menjadi ruh bagi pembentukan karakter manusia yang beradab.
Dalam konteks ini, budaya ketimuran bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi sumber kearifan yang relevan untuk menjawab krisis moral dan sosial yang melanda masyarakat modern. Ketika kesantunan mulai dianggap kuno, ketika penghormatan kepada orang tua dan guru mulai memudar, dan ketika kejujuran sering dikalahkan oleh kepentingan pribadi, di sanalah pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai budaya ketimuran. Nilai-nilai tersebut tidak hanya membentuk perilaku individu, tetapi juga menentukan arah kemajuan bangsa. Sebab, kemajuan sejati tidak hanya diukur dari kemegahan teknologi dan ekonomi, melainkan dari seberapa tinggi kualitas moral dan budaya masyarakatnya.
Konsistensi dalam sikap dan perilaku menjadi kunci utama untuk menghidupkan nilai-nilai budaya tersebut. Tidak cukup sekadar memahami atau menghafal nilai-nilai budaya, tetapi perlu diinternalisasi dan diwujudkan dalam tindakan nyata. Seorang yang berbudaya sejati akan menunjukkan integritas, kesantunan, dan kepedulian dalam setiap aspek kehidupannya. Konsistensi inilah yang sering kali menjadi titik lemah masyarakat modern—banyak yang fasih berbicara tentang moralitas dan kebudayaan, tetapi gagal menampakkannya dalam perbuatan. Ketika nilai-nilai budaya hanya berhenti pada retorika, maka budaya kehilangan rohnya dan masyarakat kehilangan arah.
Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam menanamkan kembali nilai-nilai budaya ketimuran ini. Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi wahana pembentukan kepribadian dan moralitas. Guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan figur teladan yang menanamkan nilai-nilai luhur melalui tindakan dan keteladanan. Setiap proses belajar seharusnya mengandung unsur budaya: sikap hormat kepada guru dan sesama, semangat gotong royong, serta disiplin dan tanggung jawab. Melalui pendidikan yang berbasis nilai budaya, generasi muda tidak hanya akan menjadi manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Revitalisasi nilai-nilai budaya ketimuran bukan berarti menolak modernitas, melainkan menempatkan kemajuan dalam bingkai keadaban. Dunia modern memerlukan manusia yang kompeten, tetapi juga beretika; kreatif, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu menegaskan kembali orientasi pendidikannya: bukan sekadar mencetak manusia pintar, tetapi manusia berkarakter. Di tengah derasnya arus global, hanya bangsa yang berpegang teguh pada jati dirinya yang akan mampu berdiri tegak dan dihormati bangsa lain.
Budaya ketimuran adalah cermin kemanusiaan yang paling luhur. Ia menuntun manusia untuk tidak kehilangan arah dalam kemajuan, untuk tetap manusiawi dalam kompetisi, dan untuk tetap beradab di tengah perubahan. Kini saatnya kita menjadikan budaya ketimuran bukan sekadar simbol, tetapi napas kehidupan—yang menjiwai pendidikan, perilaku sosial, dan arah pembangunan bangsa. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya maju secara materi, tetapi juga mulia dalam peradaban.”(Nursalim turatea)