banner 728x250

Maritim Kepri Siap Meledak, Pemuda Ultimatum DPD RI “Kalau Tak Didengar, Kami Duduki KSOP!”

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.—
Suasana sore di sebuah kedai kopi Tanjungpinang yang biasanya dipenuhi canda tawa, sore itu berubah menjadi forum perlawanan. Kepulan asap rokok, denting gelas kopi, dan tatapan tajam para pemuda pulau-pulau Kepri menciptakan atmosfer yang tegang. Di tengah percakapan yang awalnya santai, lahir sumpah dan tekad baru: laut tidak boleh lagi dijajah oleh kebijakan pusat.

banner 325x300

“Kesabaran kami sudah habis,” seru Bang Joko, tokoh muda pesisir yang dikenal keras ketika bicara soal kedaulatan laut Kepri. “Kami siap turun. Kami akan ambil kembali hak laut kami yang disalahgunakan. Tidak ada kompromi—ini harga mati untuk generasi kami.” Suaranya tajam, menembus ruang, membuat semua kepala mengangguk dalam diam penuh amarah.

Pernyataan itu bukan sekadar simbol frustrasi, tapi sinyal perlawanan yang nyata. Bang Joko menegaskan bahwa jika DPD RI tetap bungkam terhadap surat resmi Aliansi Peduli Indonesia Kepulauan Riau (API Kepri), maka mereka tidak akan lagi diam. “Kalau DPD RI tidak bergerak, kami akan duduki Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Ini bukan gertakan. Kami anak pulau yang hidup dari laut—laut ini darah dan napas kami. Jangan kotori ruang hidup kami dengan kebijakan yang menindas dan menyuapi oligarki!” ujarnya dengan suara bergetar namun membara.

Di sebelahnya, Hamdan S.Si., M.A.P., Sekretaris Umum API Kepri, menimpali dengan nada keras, “Diamnya masyarakat Kepri selama ini bukan tanda lemah, tapi kesantunan yang salah dimengerti. Kita diam karena masih berharap negara sadar. Tapi kalau kesadaran itu tak juga datang, diam ini akan berubah jadi badai. Jangan anggap nelayan dan pemuda pulau tidak mampu melawan.”

Hamdan menilai bahwa pemerintah pusat telah menjadikan laut Kepri sebagai meja makan bagi kepentingan elit, sementara masyarakat daerah hanya diberi remah. “Laut kita dikuasai oleh kebijakan dari gedung-gedung tinggi di Jakarta, bukan oleh mereka yang hidup dari ombak. Ini penghinaan terhadap sejarah dan identitas Kepri sebagai benteng maritim Nusantara.”

Isu labuh jangkar (anchorage area) menjadi jantung dari kemarahan kolektif itu. Dalam pandangan para aktivis, pengelolaan kawasan labuh jangkar di Kepri telah berubah menjadi ladang ekonomi yang dikontrol dari luar negeri dan segelintir pejabat. “Ironis. Kapal asing rela berlayar dua jam lebih hanya untuk berlabuh di perairan yang dikendalikan Singapura atau Malaysia, padahal perairan Kepri jauh lebih strategis. Itu bukan kebetulan—itu sistem yang sengaja dibuat agar kita kehilangan hak,” ujar Bang Joko, mengguncang meja.

Anton, tokoh masyarakat yang turut hadir, menelusuri akar ketimpangan itu ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Sejak UU itu diberlakukan, daerah kehilangan kedaulatan lautnya. Semua ditarik ke pusat—dari izin labuh jangkar, jasa pelabuhan, hingga retribusi kapal. Kita seperti jadi penonton di laut sendiri. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, ini perampasan hak ekonomi daerah yang dilegalkan lewat undang-undang,” ujarnya.

Anton menyebut langkah API Kepri mengirimkan surat resmi ke DPD RI sebagai jalan terakhir perjuangan konstitusional. Namun, ia memperingatkan, jika jalur politik dan hukum terus menemui kebuntuan, maka rakyat akan bergerak tanpa menunggu izin. “Pusat harus sadar, laut bukan sekadar sumber uang. Laut adalah sejarah, kehormatan, dan identitas. Kalau ini terus diabaikan, jangan salahkan kami kalau gelombang sosial berubah menjadi gelombang politik. Anak-anak pulau ini tidak takut badai—karena kami lahir dari badai,” tegasnya.

Dari sisi akademisi, pengamat maritim nasional, menilai bahwa apa yang terjadi di Kepri adalah potret kegagalan negara membaca gejolak di pinggiran. “Setiap kapal yang berlabuh di Kepri membawa potensi ekonomi besar—ratusan juta rupiah per hari dari logistik dan jasa pendukung. Tapi semuanya tersedot ke pusat, daerah tidak mendapat apa-apa. Ini bentuk kolonialisme birokratis gaya baru,” ujarnya.

Jika pemerintah pusat terus bersikap kaku dan tertutup, maka gelombang perlawanan daerah bisa meluas ke seluruh wilayah pesisir Indonesia. “Kepri adalah simbol perlawanan maritim Nusantara. Kalau suara mereka diabaikan, itu artinya negara menutup telinga terhadap detak jantung lautnya sendiri,” katanya.

Kini, dari obrolan sederhana di sebuah kedai kopi, muncul kesadaran baru yang mengguncang fondasi kebijakan pusat. Gerakan maritim Kepri bukan lagi sekadar aspirasi daerah, tapi panggilan sejarah: mempertahankan laut sebagai warisan yang tak bisa ditukar dengan proyek dan janji politik. Para pemuda, nelayan, dan tokoh masyarakat tahu satu hal—perlawanan sudah dimulai, dan arusnya tak akan bisa dibendung.

“Anak cucu kami harus tahu,” tutup Bang Joko, menatap jauh, “bahwa laut ini bukan milik mereka yang punya jabatan, tapi  kami yang hidup dan mati di laut kami. Kalau hak terus dirampas, maka laut ini akan bersuara. Dan kalau laut sudah bersuara—Jakarta akan mendengarnya, entah suka atau tidak.”

Catatan Redaksi:
Surat resmi Aliansi Peduli Indonesia (API Kepri) kepada DPD RI kini menjadi ujian moral bagi negara: apakah pusat benar-benar mendengar denyut rakyat maritimnya, atau terus menutup mata di balik meja birokrasi. Bila suara Kepri diabaikan, maka badai yang kini bergolak di lautan tidak hanya metafora—ia akan menjadi kenyataan. Ombak sedang bangkit, dan kali ini, dari laut Kepri, suara itu menggema sebagai peringatan: “Kami tidak akan diam lagi.”tim

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *