banner 728x250

Warga Sembulang Bertahan: Dilema Relokasi dan Harapan Baru di Tengah Bayang-Bayang Proyek Rempang

banner 120x600
banner 468x60

Batam — Aroma keresahan masih menggantung di langit Sembulang. Meski hiruk-pikuk tim terpadu dari BP Batam, Pemko Batam, dan aparat kepolisian yang sempat mendatangi warga dari rumah ke rumah sudah mulai mereda, namun bayang-bayang relokasi masih menghantui. Masyarakat Sembulang dan kawasan lain di Rempang-Galang kini hidup dalam siaga penuh, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja kembali datang kapan pun.

Seorang tokoh masyarakat setempat menyampaikan bahwa pendekatan pemerintah yang sebelumnya begitu intens dan menekan kini cenderung melunak. Tidak ada lagi iring-iringan aparat mendatangi rumah penduduk seperti beberapa bulan lalu, tidak ada lagi teriakan instruksi yang menggema di jalan-jalan kampung. Namun, bagi masyarakat Sembulang, itu bukan pertanda bahwa masalah telah usai. Justru itu isyarat untuk tetap berjaga.

banner 325x300

“Sekarang memang lebih tenang, tapi kami belum merasa aman. Kami tahu, relokasi itu masih di atas kepala kami, bisa jatuh kapan saja,” ujar tokoh tersebut dengan nada tegas namun tenang.

Warga Sembulang yang sebagian besar adalah penduduk asli, masih bertahan di tanah kelahiran mereka. Kampung yang telah dihuni secara turun-temurun selama ratusan tahun itu bukan sekadar tempat tinggal — ia adalah identitas, sejarah, dan warisan leluhur yang tak tergantikan oleh rumah-rumah baru atau ganti rugi dalam bentuk apapun.

Namun kenyataan di lapangan tak seluruhnya seragam. Sebagian masyarakat, baik dari Sembulang maupun dari kampung-kampung lain di kawasan Rempang-Galang, memang sudah direlokasi ke Tanjung Banun. Kawasan ini kini dikenal sebagai titik relokasi resmi yang disiapkan oleh pemerintah. Rumah-rumah baru telah berdiri di atas bukit-bukit gersang tanpa pepohonan rindang. Lahan yang cukup luas tampak kontras dengan bangunan rumah petak yang kecil, menyisakan ruang gerak yang terbatas, jauh dari kenyamanan kampung asal mereka.

Lingkungan Tanjung Banun pun belum sepenuhnya siap menjadi hunian ideal. Cuaca panas yang menyengat, minimnya vegetasi, serta suasana yang asing membuat sebagian warga merasa terasing di tanah relokasi. Bagi mereka yang sudah terbiasa hidup dekat laut, dikelilingi kebun, dan bertetangga dengan sanak saudara, kehidupan di Tanjung Banun menjadi beban psikologis tersendiri.

Menariknya, sebagian dari mereka yang direlokasi ternyata bukan penduduk asli kawasan Rempang. Banyak di antaranya adalah pendatang yang memiliki keterkaitan langsung dengan instansi pemerintahan, baik sebagai pegawai di BP Batam maupun Pemko Batam. Bagi mereka, relokasi bukan sekadar soal rumah, melainkan tentang keberlanjutan pekerjaan. Pilihan yang tersedia pun begitu sempit: ikut relokasi dan tetap bekerja, atau menolak pindah dan kehilangan penghidupan.

Inilah dilema sosial yang mencuat dari proyek relokasi: saat relasi kuasa antara pemerintah dan warga terjerat dalam ikatan ekonomi dan loyalitas pekerjaan. Beberapa dari mereka akhirnya memilih pasrah, bukan karena sepakat, melainkan karena tidak punya pilihan lain.

Di sisi lain, masyarakat Sembulang yang masih bertahan menyampaikan sikap tegas bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanah leluhur dalam bentuk apapun. “Kami bukan menolak pembangunan, kami hanya ingin keadilan. Jangan cabut kami dari akar kami,” kata salah satu warga yang telah menempati kampung tersebut sejak lahir.

Yang menjadi kabar menggembirakan, ada informasi yang beredar bahwa masyarakat Rempang-Galang yang tetap bertahan di tanahnya akan menjadi prioritas dalam pembangunan ke depan. Pemerintah disebut-sebut tengah menyusun skema kebijakan yang lebih pro terhadap masyarakat tempatan. Namun hingga kini, janji itu masih menjadi wacana yang menunggu pembuktian.

Warga Sembulang menantikan dengan penuh harap, apakah kebijakan pembangunan nasional — khususnya yang terkait proyek strategis di Rempang — akan benar-benar mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sejarah, dan hak warga asli atas tanahnya. Mereka bukan anti terhadap kemajuan, tetapi menolak menjadi korban dari kemajuan yang dibangun tanpa partisipasi sejati.

Apakah Proyek Nasional Strategis (PNS) ini akan terus dijalankan seperti yang dirancang semula, atau akan ada penyesuaian kebijakan yang lebih berempati dan berkeadilan? Pertanyaan besar ini kini menggantung di langit Rempang.

Yang jelas, masyarakat tidak tinggal diam. Mereka memilih bertahan dengan damai, namun waspada. Mereka mengajarkan bahwa pembangunan yang beradab harus dimulai dengan mendengar, bukan memaksa. Dan bahwa tanah bukan hanya soal lahan, tapi tentang kehidupan yang telah berakar kuat.

Mata publik kini tertuju ke Rempang. Akankah negara mampu menunjukkan kebesaran hati untuk mencari jalan tengah yang bermartabat? Ataukah akan terus melaju dengan proyek besar sambil meninggalkan luka sosial yang sulit dipulihkan?

Sembulang adalah simbol dari perjuangan masyarakat kecil yang ingin dihargai, bukan dikorbankan. Dan kisah mereka layak menjadi pelajaran bagi seluruh bangsa — bahwa keadilan sosial sejati hanya bisa terwujud ketika suara-suara kecil didengar dengan sungguh-sungguh.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *