sidikfokusnews.com-Tanjungpinang- Kepulauan Riau.—
Gelombang aspirasi dari daerah maritim kembali menguat. Aliansi Peduli Indonesia Kepulauan Riau (API Kepri) dengan tegas meminta pemerintah pusat dan DPR RI menegaskan kembali kedaulatan daerah atas laut 12 mil sebagaimana amanat konstitusi. Desakan ini disampaikan melalui surat resmi permohonan audiensi kepada pimpinan DPR RI, dengan fokus utama pada kebijakan pengelolaan jasa labuh jangkar — sektor strategis yang selama ini dinilai “dimonopoli” oleh pusat melalui regulasi yang tidak sinkron dengan semangat otonomi daerah.
API Kepri menilai, jika paradigma pengelolaan laut tidak diubah, maka daerah maritim seperti Kepulauan Riau hanya akan menjadi “penonton di rumah sendiri.” Padahal, wilayah laut 0–12 mil jelas merupakan ranah kewenangan provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Ini bukan sekadar soal pungutan. Ini soal kedaulatan hukum, ekonomi, dan masa depan maritim Indonesia,” tegas Hamdan, S.Si., M.AP., Sekretaris Umum API Kepri. “Jika hak daerah atas ruang laut terus diabaikan, maka desentralisasi yang dijanjikan reformasi tak lebih dari mitos administratif.”
Dalam praktiknya, kewenangan provinsi dalam pengelolaan laut sering kali “tumbuh dalam bayang-bayang” pemerintah pusat. Kementerian Perhubungan, misalnya, masih mengatur tarif PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) jasa labuh jangkar di wilayah laut provinsi — bahkan di area yang seharusnya menjadi ruang fiskal daerah.
Meskipun Kepulauan Riau telah memiliki Peraturan Gubernur Nomor 64 Tahun 2020 tentang retribusi layanan pelabuhan dan jasa labuh kapal di zona perairan 12 mil, penerapannya masih terhambat karena regulasi pusat tetap menempatkan daerah sebagai pelaksana administratif, bukan pemegang otoritas fiskal.
Sejumlah akademisi menilai, pola ini bertentangan dengan semangat desentralisasi asimetris. Menurut Dr. Ridwan Sutisna, pakar otonomi daerah, kebijakan laut Indonesia masih berorientasi pada kontrol vertikal, bukan kemitraan antarlevel pemerintahan.
“Kita menghadapi paradoks desentralisasi. Daerah diserahi tanggung jawab pembangunan, tapi tidak diberi kedaulatan fiskal yang memadai. Dalam konteks maritim, ini bukan sekadar keterbatasan teknis, tapi bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusi,” ujarnya.
Ia menilai bahwa Kepulauan Riau dan provinsi maritim lainnya justru harus mendapat privilege fiskal, bukan pembatasan, karena wilayah laut mereka menyumbang besar terhadap perekonomian nasional.
Wilayah laut Kepulauan Riau — mulai dari Batam, Bintan, Karimun hingga Natuna — adalah salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Ratusan kapal setiap harinya berlabuh untuk menunggu bongkar muat, mengambil logistik, atau mengisi bahan bakar. Aktivitas itu menciptakan nilai ekonomi yang luar biasa.
Menurut Buku Melabuh Jangkar (2021) terbitan Kementerian Koordinator Maritim, satu kapal asing berukuran besar dapat dikenai tarif jasa labuh hingga puluhan juta rupiah per hari, tergantung durasi dan tonase. Bila dikelola secara profesional dan transparan, Kepulauan Riau berpotensi memperoleh PAD hingga ratusan miliar rupiah per tahun.
Namun, karena sebagian besar aktivitas labuh jangkar masih dikelola di bawah skema PNBP pusat, kontribusi langsung ke kas daerah masih minim. Ironinya, biaya pengawasan laut dan dampak lingkungan justru harus ditanggung pemerintah daerah.
“Daerah menanggung resiko, pusat memungut hasil. Ini ketimpangan struktural,” kata Pakar kelautan. “Padahal laut Kepri adalah aset ekonomi strategis yang bisa menopang kemandirian fiskal daerah.”
Pemerintah pusat kerap berdalih bahwa pengaturan jasa labuh jangkar harus dikelola secara nasional demi kepastian hukum investasi dan keamanan pelayaran. Namun argumen itu, menurut para ahli otonomi daerah, tidak cukup kuat.
Prof. Dr. Siti Rahmah, pakar hukum tata negara, menilai bahwa pengaturan berskala nasional tidak boleh menegasikan hak konstitusional daerah.
“Pasal 18B UUD 1945 mengakui daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Provinsi kepulauan seperti Kepri justru masuk kategori itu. Maka, pembatasan fiskal terhadap mereka jelas bertentangan dengan semangat konstitusi,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah maritim harus dikoreksi melalui revisi RUU Kelautan yang kini sedang dibahas di DPR. Salah satu usulan strategis adalah pemisahan jelas antara kewenangan laut 0–4 mil (kabupaten/kota) dan 4–12 mil (provinsi). Jika diterima, langkah ini bisa mengakhiri konflik sektoral yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
API Kepri menyadari bahwa perjuangan menegakkan kedaulatan fiskal laut tidak hanya berhenti di tataran hukum. Mereka menekankan pentingnya membangun tata kelola maritim modern dengan sistem digital dan akuntabel. Pungutan manual dianggap membuka ruang bagi kebocoran dan korupsi.
Menurut Dr. Annisa Wulan, peneliti di Pusat Studi Kelautan dan Pesisir, implementasi sistem digital seperti E-Retribusi Maritim dan Automatic Identification System (AIS) akan menjadi kunci reformasi pendapatan laut.
“Kapal asing tidak bisa lagi melabuh diam-diam. Semua terdeteksi. Semua transaksi tercatat. Dengan integrasi data antara otoritas pelabuhan, KKP, dan pemerintah daerah, kebocoran fiskal bisa ditekan drastis,” ujarnya.
API Kepri juga mendorong pembentukan BUMD Maritim sebagai operator profesional pengelola jasa labuh jangkar, dengan sistem transparansi publik dan audit independen tahunan. Pendapatan yang diperoleh, kata Hamdan, harus kembali kepada masyarakat pesisir — melalui pembangunan pelabuhan, beasiswa anak pulau, pemberdayaan nelayan, dan penguatan ekosistem laut.
Para pakar sepakat, perjuangan API Kepri membuka ruang baru dalam diskursus otonomi fiskal maritim. Bila berhasil, langkah ini bisa menjadi preseden bagi daerah kepulauan lain seperti Maluku, NTT, atau Sulawesi Utara.
“Laut bukan sekadar pemandangan biru. Ia adalah sumber kedaulatan ekonomi. Jika daerah dibiarkan hanya menjadi pengawas tanpa wewenang fiskal, maka Indonesia akan selamanya menjadi negara daratan dengan laut yang miskin,” tegasnya.
Langkah API Kepri mendesak DPR RI untuk membuka ruang dialog terbuka dinilai sebagai momentum penting bagi reformasi tata kelola kelautan nasional. Mereka menuntut agar suara daerah tidak hanya didengar, tetapi diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang konkret.
“Kepulauan Riau bukan pinggiran republik. Ia adalah gerbang ekonomi laut Indonesia.”
Dan jika otonomi fiskal maritim ditegakkan, laut Kepri tak hanya menjadi halaman depan Indonesia — tetapi juga sumber kemakmuran rakyatnya sendiri.”arf-6

















