Oleh: Nunu A. Hamijaya
(Sejarawan Publik/Penulis Buku 1 Negeri 3 Proklamasi & Negara Ummat: Zelfbestuur Berdasarkan Syariat)
Sejarah bangsa ini tidak pernah sederhana. Di balik gegap gempita proklamasi 17 Agustus 1945, ada jejak luka yang jarang dibicarakan: penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta. Kata-kata sakral yang lahir dari kompromi para pendiri bangsa itu, hanya semalam usianya sebelum dipangkas dari konstitusi. Dan sejak hari itulah, syariat Islam berjalan pincang dalam ruang publik Indonesia.
Soekarno memang membacakan proklamasi, tetapi tanpa menyebut “Republik Indonesia”. Negara baru itu lahir sehari setelahnya, 18 Agustus, dengan UUD 1945 yang sudah kehilangan ruh Islam. Hatta kagum pada Turki sekuler, Agus Salim menciptakan istilah kompromi “Tuhan Yang Maha Esa”, sementara umat Islam menelan getir.
Padahal, jauh sebelum itu, Tan Malaka sudah menulis gagasan Naar de Republiek Indonesia (1925). Ia membayangkan republik yang merdeka penuh, tanpa tunduk pada kompromi dengan penjajah. Analisisnya tentang perang Pasifik terbukti tepat. Ia bersama Jenderal Soedirman menolak jalur diplomasi yang dipilih Sjahrir dan Hatta. Persatuan Perjuangan di Purwokerto, 1946, adalah tonggak penolakan terhadap kemerdekaan setengah hati. “Lebih baik kita dibom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen,” seru Soedirman.
Lalu muncullah Kartosuwiryo. Pada 7 Agustus 1949, ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia, menegaskan syariat sebagai hukum negara. Apa yang ia lakukan sejatinya bukan sekadar perlawanan, tapi jawaban terhadap Al-Maidah ayat 44: barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka kafir.
Sayangnya, perjalanan Republik semakin jauh dari syariat. Dekrit 5 Juli 1959 yang menyebut Piagam Jakarta sebagai “mewarnai” UUD 1945 sudah lama dilucuti. Tap MPRS 1966 yang menjadi payung hukumnya pun dibuang lewat UU No. 12 Tahun 2012. Upaya mengembalikan tujuh kata di era reformasi gagal total. Kini, bahkan perda-perda syariah pun dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Pertanyaannya: sampai kapan umat Islam menjadi tamu di rumah sendiri?
Rasulullah Saw. tidak pernah melobi sistem jahiliyyah Quraisy untuk memberi ruang pada Islam. Beliau membangun jalan alternatif: Baitul Arqam sebagai basis kaderisasi, hijrah ke Madinah untuk mendirikan tatanan baru. Itu jalan sunnah: membangun kekuatan umat di luar sistem yang menolak Islam.
Hari ini, kita pun harus jujur: sistem sekuler bukan rumah bagi Islam. Haramnya bukan pada syariat, tapi pada sistem yang terus menjauhkan manusia dari Allah. Maka yang wajib bukan mengecilkan Islam agar muat dalam konstitusi, tetapi membesarkan umat agar mandiri dari konstitusi yang menolak Islam.
Ya, benar kata Rasulullah: Islam akan terasing kembali sebagaimana ia datang dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing. (HR. Muslim).
Mungkin kita hari ini adalah yang “asing” itu—dicibir, dimusuhi, dituduh macam-macam. Tapi dari yang asing inilah kebangkitan dimulai. Indonesia ada di persimpangan sejarah. Apakah kita rela ia terus melaju di jalan sekuler yang kering dari ruh? Atau kita berani mengarahkan kembali pada cita-cita awal: negeri karunia Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur?
Pilihan itu ada pada umat. Dan sejarah selalu menunggu keberanian untuk menuliskannya kembali.”redaksiSF