Catatan oleh : Agus M Maksum
Ada nama yang tiba-tiba kembali mengisi perbincangan politik dan keamanan negeri ini: Ahmad Dofiri. Ia bukan sosok baru. Jenderal purnawirawan yang pernah berdiri di tengah sorotan publik ketika memimpin sidang etik pemecatan Ferdy Sambo—keputusan yang sempat mengembalikan sejenak kepercayaan masyarakat pada Polri. Kini, ia hadir bukan lagi sebagai pejabat aktif, melainkan sebagai penasihat khusus Presiden dengan mandat berat: mendorong reformasi kepolisian.
Kata “reformasi” mungkin sudah terlalu sering kita dengar. Di telinga publik, ia kerap terdengar kosong karena janji yang berulang kali dilontarkan tak sebanding dengan kenyataan. Namun kali ini ada sesuatu yang sedikit berbeda. Dofiri datang dengan catatan reputasi yang relatif bersih: tak terlilit utang, harta kekayaannya tercatat transparan, dan perjalanan kariernya panjang, dari Kapolres Bandung hingga Irwasum Polri. Ia bukan sekadar birokrat berseragam, melainkan figur yang pernah berani mengambil keputusan di saat institusi tengah goyah.
Publik membaca penunjukan ini sebagai tanda, bahwa Presiden ingin lebih dari sekadar memoles wajah Polri. Citra institusi kepolisian kini bukan lagi sekadar retak—ia sudah lapuk dari dalam. Dari praktik penyalahgunaan wewenang, dari budaya yang mengikis integritas, dari perilaku aparat yang menjauhkan rakyat dari rasa percaya.
Tentu, seorang Ahmad Dofiri tidak akan mampu mengubah tubuh sebesar Polri hanya dengan kemauan pribadi. Reformasi kepolisian tak pernah bisa ditanggung oleh satu figur, sebersih apapun rekam jejaknya. Tetapi simbol tetap penting. Sosoknya adalah pesan: ada niat untuk membersihkan. Bahwa Polri tak boleh terus-menerus menjadi institusi yang ditakuti rakyatnya.
Apakah ia akan berhasil? Tidak ada yang bisa menjawabnya kini. Sejarah selalu menulis dengan tinta yang getir ketika menyangkut perubahan di tubuh kepolisian. Namun setidaknya, sebuah langkah awal telah diambil. Dan di pundak seorang jenderal yang sudah melewati masa dinasnya, publik menitipkan sebuah harapan yang mungkin terlalu berat: menjadikan polisi kembali dicintai rakyatnya, bukan ditakuti. “redaksi SF