sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Pemprov Kepri melalui Gubernurnya dituding menjual aset publik Gurindam 12 ke tangan pemodal lewat skema kontrak kerja sama pemanfaatan (KSP) selama 30 tahun. Kawasan yang dibangun dari uang rakyat ratusan miliar rupiah kini diperlakukan bak komoditas bisnis, bukan ruang hidup bagi pedagang kecil dan pelaku UMKM.
Dengan dalih “pemasukan kas daerah”, melalui Dinas PUPP menyebut pemprov akan mendapat keuntungan sewa lahan dan bagi hasil kios dari investor. Tetapi di mata publik, kebijakan ini hanyalah jalan pintas yang menggadaikan hak rakyat kecil demi keuntungan jangka panjang yang belum tentu kembali ke masyarakat.
Pakar kebijakan publik, menyebut langkah kebijakan Pemprov sebagai kebijakan sesat arah.
“Ini bukan soal efisiensi, ini soal keberpihakan. Gurindam 12 adalah ruang publik yang dibangun dari pajak rakyat. Ketika dilepas ke pengusaha, maka rakyat otomatis tersingkir. Gubernur lupa, pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya sendiri,” ujarnya tegas
Gubernur pun dinilai melecehkan peran Pemerintah Kota Tanjungpinang. Padahal, Pemko dianggap lebih dekat dengan masyarakat dan punya visi kuat dalam memberdayakan UMKM.
“Kalau Pemko diberi kewenangan penuh, kawasan itu bisa hidup 24 jam, murah untuk pedagang, ramah bagi wisatawan, dan menggerakkan ekonomi lokal. Tapi opsi itu ditutup rapat. Ini bukti gubernur lebih percaya pada pengusaha daripada rakyatnya sendiri,” kata ekonom dan pengamat tata kota.
Pedagang Kecil Dikunci, Modal Besar Dipelihara
Kontrak bisnis 30 tahun jelas bukan sekadar hitungan angka. Itu artinya tiga dekade rakyat kecil tidak akan punya ruang di Gurindam 12 kecuali sanggup membayar sewa tinggi yang ditentukan investor. Regulasi ketat ala bisnis murni akan berlaku, dan pedagang kecil akan kalah sebelum bertanding.
“Di lapangan, pedagang kecil masih berjualan keliling tanpa tempat layak. Apa sulitnya gubernur membangun kios murah untuk mereka? Mengapa malah digadaikan ke investor? Ini pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial,” ujar pengamat sosial Kepri, Dedi Purwanto.
Padahal, tanah seluas 7.450 m²—dengan 2.000 m² untuk kuliner dan 5.540 m² untuk parkir—adalah emas murni untuk pemberdayaan rakyat kecil. Jika dikelola Pemko dengan biaya sewa murah, uang yang berputar akan kembali ke masyarakat, memperkuat daya beli, dan justru menambah pendapatan daerah lewat pajak dan retribusi.
“ semprot Kepri terjebak dalam logika kas sempit. Pembangunan bukan cuma soal neraca keuangan, tapi soal keberpihakan. Kalau hanya mengejar angka, itu bukan pemimpin, itu pedagang,” sindir salah satu tokoh muda Kepulauan Riau.
Kini publik menagih jawaban tegas: apakah Gubernur yang berpihak pada rakyat kecil, atau sekadar pengelola aset yang nyaman bernegosiasi dengan pengusaha?
“Gurindam 12 adalah cermin. Kalau jatuh ke investor, artinya kepemimpinan gubernur dan pertanyaannya Apakah wakil gubernur tidak dimintai pendapat terkait pelelangan gurindam 12? dan ini telah mengkhianati cita-cita keadilan. Tapi kalau dikembalikan ke Pemko dengan skema pemberdayaan, barulah ia bisa disebut pemimpin rakyat,” pangkas aliansi gerakan bersama rakyat Kepri.
Kebijakan Gurindam 12 bukan sekadar proyek kuliner atau parkir. Ini adalah ujian sejarah: apakah Kepri dibangun di atas semangat keadilan untuk rakyat kecil, atau dijual habis ke tangan modal besar dengan kontrak 30 tahun yang membelenggu.”redaksiSF