sidikfokusnews.com – Batam.– Kehadiran ratusan peserta Rapat Koordinasi Majelis Nasional dan Daerah KAHMI Se-Sumatera di Batam, Sabtu (20/9/2025), bukan sekadar sebuah agenda seremonial. Di balik acara bergengsi yang digelar di Swiss Belhotel Harbour Bay, tersimpan kisah perjuangan dan semangat kebersamaan para alumni HMI dari berbagai kabupaten dan kota, khususnya dari Provinsi Riau.
Rombongan KAHMI Riau, yang terdiri dari puluhan pengurus dan anggota, rela menempuh perjalanan panjang demi hadir dalam forum akbar tersebut. Tidak kurang dari 25 organisasi daerah
KAHMI turut serta, menunjukkan solidaritas yang kuat sekaligus kesadaran kolektif akan pentingnya eksistensi organisasi alumni HMI di tengah dinamika bangsa.
Perjalanan dimulai dari pelabuhan Buton, Kabupaten Siak. Dari sana, rombongan bergerak menuju Batam dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Meski cukup melelahkan, semangat tidak pernah padam. Justru perjalanan panjang itu menjadi simbol perjuangan sekaligus bukti nyata bahwa KAHMI tidak hanya hadir dalam wacana, tetapi juga dalam langkah-langkah konkret kebersamaan.
Sejumlah peserta mengakui bahwa perjalanan tersebut memiliki makna tersendiri. “Perjalanan ini adalah bagian dari komitmen kami untuk menjaga eksistensi KAHMI. Kami ingin menunjukkan bahwa organisasi ini bukan hanya nama, melainkan kekuatan nyata yang lahir dari kebersamaan alumni HMI,” ujar salah seorang peserta rombongan.
Kehadiran mereka di Batam sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa KAHMI tetap relevan dalam percaturan sosial, politik, dan kebangsaan. Di tengah arus globalisasi yang kerap menggerus nilai-nilai kebersamaan, organisasi ini berdiri tegak sebagai wadah alumni HMI yang siap berkontribusi bagi bangsa.
Tidak hanya membawa semangat perjuangan, rombongan KAHMI Riau juga menjadikan perjalanan ini sebagai ajang mempererat persaudaraan lintas daerah. Pertemuan antaralumni dari kabupaten dan kota yang berbeda memunculkan suasana hangat penuh kekeluargaan, seakan mengingatkan kembali pada masa-masa perjuangan mereka di kampus ketika masih aktif sebagai kader HMI.
Forum KAHMI Se-Sumatera di Batam diharapkan melahirkan gagasan-gagasan segar untuk memperkuat peran alumni HMI dalam berbagai aspek pembangunan. Kehadiran tokoh-tokoh nasional seperti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad, Wakil Menteri Transmigrasi Viva Yoga, serta Koordinator Majelis Nasional KAHMI Rifqinizamy Karsayuda, semakin menegaskan bahwa organisasi ini memiliki posisi strategis dalam mendukung arah kebijakan bangsa.
Perjalanan panjang dari Siak menuju Batam ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan ideologis yang merefleksikan tekad, kesadaran, dan dedikasi alumni HMI untuk terus menjaga marwah organisasi. KAHMI, dengan segala tantangan dan dinamika yang dihadapi, membuktikan bahwa eksistensinya tetap kokoh dan terus memberikan makna bagi umat, bangsa, dan negara.”(Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 92