sidikfokusnews.com-Dili.– Ribuan warga Timor Leste, terutama mahasiswa, kembali turun ke jalan untuk hari ketiga berturut-turut memprotes rencana pembelian mobil SUV bagi anggota parlemen meski keputusan itu telah dibatalkan secara resmi. Demonstrasi yang berlangsung di depan gedung parlemen di Dili ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam masyarakat terhadap pengelolaan anggaran negara, di tengah kondisi sosial-ekonomi yang rapuh.
Protes besar-besaran ini dipicu oleh alokasi anggaran senilai US$ 4,2 juta (sekitar Rp 70 miliar) untuk pembelian 65 unit Toyota Prado, masing-masing diperuntukkan bagi anggota parlemen. Kebijakan tersebut memicu gelombang kritik luas, mengingat lebih dari 40 persen rakyat Timor Leste masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tekanan publik akhirnya membuat parlemen berbalik arah pada Selasa dengan mengeluarkan resolusi pembatalan, disertai instruksi agar kendaraan yang sudah dimiliki dimanfaatkan secara lebih efisien.
Namun, bagi sebagian besar demonstran, langkah parlemen itu dianggap terlambat dan tidak menjawab akar persoalan. “Ada rumor bahwa mobil-mobil itu sudah dalam perjalanan. Itu sebabnya kami masih di sini, memastikan uang pajak tidak digunakan untuk hal yang salah,” kata Trinito Gaio (42), salah seorang pengunjuk rasa.
Bentrokan antara mahasiswa dan aparat kepolisian yang mewarnai dua hari sebelumnya menunjukkan eskalasi situasi. Polisi menembakkan gas air mata setelah massa melemparkan batu. Presiden Jose Ramos-Horta menegaskan tidak akan ada toleransi terhadap tindak kekerasan, namun juga menyerukan agar aspirasi publik didengar secara bijaksana.
Situasi ini semakin kompleks dengan absennya Perdana Menteri Xanana Gusmao yang sedang berada di London untuk pembahasan perbatasan internasional. Ketidakpuasan publik pun seolah menemukan simbol baru dalam kasus mobil mewah, yang dipandang sebagai bentuk ketidakpekaan elite politik terhadap penderitaan rakyat.
Pengamat politik internasional, Dr. Michael Leach dari Swinburne University, menilai insiden ini menyingkap masalah struktural yang lebih dalam. “Mobil SUV hanyalah puncak gunung es. Isu sebenarnya adalah jurang besar antara elite politik dan kebutuhan masyarakat. Di negara dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi, kebijakan semacam itu dilihat sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan analis Asia Tenggara dari International Crisis Group, Amanda Hodge, yang menyoroti persoalan tata kelola anggaran. “Ketergantungan Timor Leste pada cadangan minyak dan gas menjadikan setiap pengeluaran negara berada di bawah sorotan. Keputusan membeli kendaraan mewah di saat rakyat masih berjuang untuk kebutuhan dasar memperkuat narasi ketidakadilan sosial,” jelasnya.
Selain faktor ekonomi, ada pula dimensi politik yang tak kalah penting. Menurut pengamat regional dari Universitas Nasional Singapura, Prof. George Chitty, demonstrasi ini berpotensi menjadi momentum kebangkitan gerakan sipil. “Mahasiswa Timor Leste telah lama menjadi aktor penting dalam perubahan politik. Bila protes ini berlanjut, ia bisa berkembang menjadi tekanan politik yang lebih besar terhadap elite pemerintahan,” katanya.
Protes di Dili juga mendapat perhatian internasional karena bersamaan dengan meningkatnya keresahan sosial di kawasan. Bulan lalu, demonstrasi di Indonesia dipicu oleh insiden kendaraan polisi yang menabrak warga, namun kemudian meluas menjadi kritik atas fasilitas mewah pejabat, upah rendah, dan pengangguran.
Kondisi ini mencerminkan keresahan yang serupa di Asia Tenggara: jurang ketidaksetaraan yang semakin lebar, ketidakpuasan terhadap kinerja parlemen, serta meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Timor Leste, yang meraih kemerdekaan pada 2002 setelah lebih dari dua dekade pendudukan, masih bergulat dengan tantangan fundamental: gizi buruk, pengangguran, serta sistem politik yang rentan terhadap praktik elitis. Kasus mobil mewah ini menjadi katalis protes yang lebih luas—sebuah peringatan keras bahwa legitimasi pemerintah hanya akan bertahan bila mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.”redaksiSF