sidikfokusnews.com – Batam.– Kemacetan pada pagi hari di kawasan Sei Beduk masih menjadi persoalan rutin yang dihadapi masyarakat. Setiap hari, pada jam berangkat kerja dan sekolah, jalanan dipadati kendaraan bermotor hingga menyebabkan arus lalu lintas tersendat. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan keterlambatan, tetapi juga berdampak pada banyak aspek kehidupan sehari-hari.
Salah seorang warga, Ahmad Efendy, mengungkapkan bahwa faktor utama penyebab kemacetan di kawasan ini adalah karena semua orang melakukan aktivitas pada waktu yang hampir bersamaan. “Pagi hari semua orang berangkat kerja, sekolah, dan melakukan aktivitas lainnya. Akibatnya jalanan menjadi penuh dan sulit dihindari,” ujarnya. Menurutnya, dampak dari kemacetan ini cukup merugikan, karena banyak orang yang terlambat tiba di tempat tujuan dan bahkan bisa menimbulkan kerugian bagi dunia kerja maupun sekolah. Ia menekankan bahwa salah satu cara mengurangi kemacetan adalah dengan disiplin berlalu lintas dan menaati aturan yang ada.

Hal senada disampaikan Yeni, warga lainnya, yang menilai bahwa kemacetan di Sei Beduk kerap terjadi karena padatnya aktivitas pada pagi hari. Selain menghambat kelancaran perjalanan, kemacetan juga menambah polusi udara akibat kendaraan yang menumpuk di jalan. “Kemacetan tidak hanya membuat perjalanan lambat, tapi juga berdampak buruk bagi kesehatan karena polusi meningkat. Solusinya bisa dilakukan dengan pelebaran jalan serta penegakan aturan berkendara,” ungkapnya.
Sementara itu, Sella,salah seorang siswi yang sering terjebak macet di kawasan tersebut, menyoroti perlunya kehadiran petugas penjaga jalan atau satuan pengatur lalu lintas di titik-titik rawan macet. Menurutnya, kehadiran aparat dapat membantu mengurai kepadatan sehingga lalu lintas menjadi lebih tertib dan lancar.
Salah seorang warga yang enggan disebut namanya kepada awak media menambahkan bahwa dampak kemacetan tidak bisa dianggap remeh. Selain merugikan waktu, kemacetan juga berpotensi menimbulkan kecelakaan. “Saat pagi hari jalan sangat padat, kecelakaan bisa saja terjadi karena pengendara sering terburu-buru. Ini jelas merugikan masyarakat dan berdampak buruk bagi keselamatan,” ujarnya.
Dari berbagai pandangan masyarakat tersebut, terlihat bahwa kemacetan di Sei Beduk merupakan masalah yang kompleks, menyangkut faktor kepadatan aktivitas, keterbatasan infrastruktur jalan, hingga disiplin pengguna jalan. Untuk mengatasinya dibutuhkan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan aparat terkait. Solusi jangka panjang seperti pelebaran jalan dan pembangunan infrastruktur harus segera diwujudkan, sementara solusi jangka pendek seperti penertiban lalu lintas dan peningkatan kesadaran pengguna jalan harus terus digalakkan.
Dengan adanya langkah-langkah konkret tersebut, diharapkan kemacetan yang menjadi rutinitas sehari-hari masyarakat Sei Beduk dapat dikurangi, sehingga aktivitas warga pada pagi hari bisa berjalan lebih lancar, tertib, dan aman.”(Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 76